
Riset Terbaru Buktikan Warga AS Makin Tak Suka Trump

Jakarta, CNBC Indonesia - Tingkat persetujuan terhadap Donald Trump terus menunjukkan tren negatif. Meski Presiden AS tersebut masih mempertahankan dukungan dari basis Partai Republik, mayoritas warga AS kini mulai menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap berbagai kebijakan Trump, termasuk di sektor ekonomi.
Riset terbaru CNBC All-America Economic Survey mengungkap hanya satu dari tujuh isu utama yang mendapatkan penilaian positif dari publik terhadap Trump: keamanan perbatasan. Sisanya, mulai dari inflasi, tarif, belanja federal hingga pajak, dinilai publik sebagai kelemahan Trump.
"Yang tampaknya menghalangi tingkat persetujuan keseluruhan Presiden Trump untuk tidak benar-benar turun adalah ekonomi yang kuat dan kepercayaan yang ia dapatkan dari publik. Ia tidak dapat mengandalkan hal itu saat ini," kata Jay Campbell, mitra di Hart Research, lembaga survei dari pihak Demokrat, seperti dikutip CNBC, Jumat (8/8/2025).
Survei nasional terhadap 1.000 responden yang digelar pada 29 Juli-3 Agustus itu menunjukkan 51% warga AS tidak menyetujui kepemimpinan Trump, dibandingkan 46% yang menyetujui. Secara ekonomi, 53% responden tidak puas dengan kinerja Trump, meski ada sedikit perbaikan dibandingkan survei April lalu.
"Peringkat individu Trump menurun di semua isu, kecuali tarif. Optimisme ekonomi meningkat, tapi tidak ada perbaikan dalam data inflasi," kata Micah Roberts, mitra dari Public Opinion Strategies yang menjadi bagian tim survei dari Partai Republik.
Ironisnya, di saat popularitas Trump menurun, citra Partai Demokrat juga ikut terpuruk. Dukungan terhadap partai tersebut anjlok ke posisi terendah dalam beberapa dekade, dengan hanya 24% pemilih terdaftar yang berpandangan positif, dan 56% negatif. Selisih -32 poin persentase ini merupakan yang terburuk sejak setidaknya 1996.
Namun, ada sedikit keunggulan dalam preferensi legislatif. Survei mencatat, 49% responden lebih memilih Partai Demokrat menguasai Kongres, naik dari 48% pada April, sementara 44% memilih Partai Republik.
Perpecahan Tajam di Isu-isu Kunci
Survei juga menyoroti perpecahan tajam di kalangan publik dalam isu-isu utama. Misalnya, kebijakan deportasi imigran ilegal memecah Partai Republik: 98% pendukung Trump (MAGA) mendukung deportasi, sementara hanya 61% anggota Partai Republik non-MAGA yang setuju. Di sisi lain, 97% Demokrat liberal menentang deportasi.
Di isu inflasi, Trump mencatat persetujuan terendah dengan selisih negatif 23 poin (37% setuju, 60% tidak setuju). Sebanyak 60% responden mengatakan pendapatan mereka tertinggal dari biaya hidup, terutama di kalangan perempuan dan warga berpenghasilan rendah.
Tarif juga menjadi sorotan negatif. Mayoritas publik (67%) percaya tarif menyebabkan kenaikan harga barang sehari-hari, dan 49% menyatakan tarif merugikan pekerja AS. Hanya 37% yang menyatakan tarif memberikan manfaat. Namun, 47% masih melihat tarif membantu perusahaan dalam negeri, dibandingkan 37% yang tidak.
Meski pandangan terhadap Trump memburuk, optimisme ekonomi justru sedikit meningkat. Sekitar 31% responden menilai kondisi ekonomi saat ini "baik" atau "sangat baik", angka terbaik sejak awal pemerintahan Biden dan meningkat 11 poin dibanding April.
Pandangan terhadap pasar saham pun lebih positif. Sebanyak 46% responden mengatakan sekarang adalah waktu yang tepat untuk berinvestasi, naik tajam dari sebelumnya. Bahkan, 36% responden yang tak memiliki investasi pun berpendapat serupa, angka tertinggi dalam sejarah survei.
Kendati demikian, proyeksi jangka menengah tetap pesimistis. Sebanyak 46% publik memperkirakan ekonomi akan memburuk dalam beberapa waktu ke depan, sementara hanya 36% yang meyakini akan membaik.
"Survei ini menggambarkan negara yang sedang berada dalam kondisi sangat terbelah dalam hampir semua isu," ujar Roberts dari Public Opinion Strategies.
Dengan pemilu 2024 yang semakin dekat, hasil survei ini menjadi peringatan serius bagi kubu Trump dan Partai Demokrat. Publik Amerika tidak hanya kecewa pada individu, tetapi juga pada sistem politik yang mereka wakili.
(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pemerintahan AS Akhirnya Selamat dari Shutdown, Ini Kronologinya
