Ekonom Senior Bedah Data Pertumbuhan Ekonomi RI, 10 Hal Ini Disorot!

Daftar Isi
- 1. Penjualan mobil dan motor turun
- 2. PMI manufaktur dalam fase kontraksi
- 3. Konsumsi rumah tangga turun
- 4. Penurunan Penanaman Modal Asing
- 5. Inflasi naik pada Juli 2025
- 6. Peningkatan PHK
- 7. Kredit perbankan
- 8. Indeks kepercayaan konsumen menurun
- 9. Warga pesimis terhadap penghasilan
- 10. Gejolak eksternal
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi tercatat tumbuh 5,12% pada kuartal II-2025. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2025 sebesar 4,87% dan lebih tinggi dari kuartal II-2024 sebesar 5,05%.
Kendati menunjukkan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Fadhil Hasan menjelaskan terdapat 12 indikator yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia mengalami pelemahan dibandingkan dengan triwulan I-2025.
"Ada kira-kira 10 ya leading economic indicator yang menunjukkan justru adanya pelemahan pada triwulan kedua 2025 itu atau dalam semester pertama 2025 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2024," ujar Fadhil dalam diskusi publik dikutip Rabu (6/8/2025).
Berikut adalah 10 indikator yang menjadi sorotan INDEF:
1. Penjualan mobil dan motor turun
Fadhil menjelaskan bahwa penurunan pada penjualan mobil dan motor menjadi salah satu indikator utama pelemahan daya beli masyarakat.
Berdasarkan Data Gaikindo yang dilansir PT Astra International Tbk menunjukkan, penjualan mobil nasional bulan Juni 2025 hanya mencapai 57.761 unit. Terjadi penurunan sebanyak 2.851 unit atau 4,71% dibandingkan penjualan Mei 2025 yang mencapai 60.612 unit.
Padahal, penjualan mobil sempat naik di bulan Mei 2025 jadi 60.612 unit dari bulan April 2025 yang tercatat 51.205 unit.
Sementara penjualan sepeda motor pada bulan Juni 2025 tercatat hanya 509.326 unit, lebih rendah 0,34% dari periode sama tahun lalu yang mencapai 511.098 unit. Namun, secara bulanan, penjualan motor di dalam negeri masih lebih tinggi 0,78% dari 505.350 unit di bulan Mei 2025.
"Ini merupakan indikator langsung konsumsi masyarakat menengah atas menurun," ujarnya.
2. PMI manufaktur dalam fase kontraksi
Kinerja industri manufaktur tercatat dalam Badan Pusat Statistik menjadi salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan mencapai 5,68% yoy dengan besaran distribusi terhadap PDB sebesar 18,67%. Padahal, pada kuartal I-2025 tumbuhnya 4,55%, dan kuartal II-2024 hanya tumbuh 3,95%.
Kendati demikian berdasarkan data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Jumat (1/8/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 49,2 pada Juli 2025 atau mengalami kontraksi, artinya PMI sudah terkontraksi selama empat bulan beruntun.
Sebelumnya, PMI sudah terkontraksi sebesar 46,7 di April, kemudian 47,4 di Mei, berlanjut di Juni (46,9), dan Juli (49,2).
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
"Kalau kita melihat PMI yang pada triwulan kedua tahun 2025 itu justru berada di bawah angka 50 ya 50 itu berarti konstruksi. Bagaimana kemudian leading economic indikatornya itu kontra konstruksi ya tapi pertumbuhannya itu meningkat signifikan sekali," ujarnya.
3. Konsumsi rumah tangga turun
Fadhil menyoroti konsumsi rumah tangga yang secara umum mengalami pelemahan. Pasalnya sepanjang kuartal II-2025, tidak ada hari libur nasional atau hari besar keagamaan yang memberikan dorongan khusus terhadap konsumsi rumah tangga.
Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik konsumsi menunjukkan pertumbuhan 4,97% secara tahunan dengan kontribusi 54,25% secara tahunan.
"Tidak ada dorongan seasonal effect misalnya dari lebaran Ramadan gitu ya tapi tumbuh juga cukup tinggi (dalam data BPS) begitu," ujarnya.
4. Penurunan Penanaman Modal Asing
Berdasarkan data dari Kementerian Investasi/BKPM, investasi asing yang sudah direalisasikan di kuartal II-2025 mencapai Rp 202,2 triliun. Realisasi ini turun 12,23% jika dibandingkan kuartal I-2025, yakni Rp 230,4 triliun.
Fadhil menyebutkan bahwa penurunan angka Foreign Direct Investment atau FDI tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan investor melemah. Hal tersebut dapat berdampak ke investasi riil.
5. Inflasi naik pada Juli 2025
Laju inflasi Indonesia pada Juli 2025 melonjak menjadi 2,37% secara tahunan (yoy), naik signifikan dari 1,87% pada Juni.
Kenaikan inflasi terutama dipicu oleh lonjakan harga pangan, seperti beras, bawang, dan tomat, yang mengalami kenaikan tajam akibat gangguan pasokan dan cuaca ekstrem. Kondisi ini menyebabkan gagal panen dan hambatan distribusi di sejumlah daerah.
Fadhil menjelaskan bahwa inflasi sepanjang Januari hingga Juni inflasi telah meningkat 1,38%. Jumlah tersebut meningkat dari 1,07% pada Januari hingga Juni 2024 atau naik 2,37%.
"Kenaikan inflasi ini akan terus menggerus daya beli apalagi jika inflasi pangan dan energi naik," tegasnya.
6. Peningkatan PHK
Lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama semester I-2025 menjadi sinyal keras bahwa tekanan terhadap perekonomian nasional semakin memburuk.
Berdasarkan data Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 42.385 pekerja mengalami PHK dari Januari hingga Juni 2025, melonjak tajam 32,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jawa Tengah mencatat jumlah PHK terbanyak dengan 10.995 orang, diikuti oleh Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Fenomena ini menggambarkan mulai rapuhnya ketahanan sektor usaha, terutama di industri padat karya
Fadhil menjelaskan dengan PHK yang terus meningkat, hal tersebut dapat memperburuk daya beli masyarakat serta menaikkan angka pengangguran terselubung.
"Peningkatan PHK di semester pertama tahun 2025 itu melonjak 32% dibandingkan periode yang sama di tahun yang lalu," ujarnya.
7. Kredit perbankan
Pertumbuhan kredit perbankan nasional tercatat melambat ke level 8,88% secara tahunan (year on year/yoy) pada April 2025. Ini menjadi perlambatan yang terjadi dalam dua bulan terakhir di tengah berbagai dinamika ekonomi.
Fadhil menyoroti perlambatan ini menjadi sinyal penting terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Pelemahan ini mengindikasikan kehati-hatian pelaku usaha dan rumah tangga
"Pertumbuhan kredit itu korelasinya dengan pertumbuhan ekonomi itu sangat tinggi ya. Mungkin hampir satu gitu ya," ujarnya.
Berdasarkan catatan Fadhil, pertumbuhan kredit di tahun Januari-Juni tahun 2025 sebesar 7,7% dibanding 8,3% di Januari-Juni 2024.
"Jadi ini kan pertumbuhan kredit turun tapi kemudian bagaimana pertumbuhan ekonomi meningkat? Nah itu juga harus pertanyaan yang lain," ujarnya.
8. Indeks kepercayaan konsumen menurun
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia pada Juni 2025 tercatat sebesar 117,8, hanya naik tipis dari bulan sebelumnya yang berada di level 117,5.
Meskipun secara teknikal masih berada di zona optimis (di atas 100), level ini mencerminkan bahwa kepercayaan konsumen masih lemah, bahkan mendekati posisi terendah sejak September 2022, ketika ekonomi masih dalam masa pemulihan pasca Covid-19.
Penurunan indeks kepercayaan konsumen pun juga menjadi salah satu indikator pelemahan ekonomi Indonesia. Fadhil menjelaskan bahwa penurunan IKK walaupun masih berada dalam zona optimis, terdapat ekspektasi negatif akan masa depan.
9. Warga pesimis terhadap penghasilan
Fadhil mengungkapkan,meski IKK masih berada dalam level optimis sebesar 117,8, ekspektasi penghasilan konsumen ke depan sedikit menurun.
Data Indeks Ekspektasi Penghasilan (IEP) menunjukkan tren penurunan. Pada Juni 2025, IEP tercatat sebesar 133,2, turun 2,2 poin dari bulan sebelumnya yang berada di level 135,4. Angka ini merupakan yang terendah sejak Desember 2022, saat IEP berada di level 133,3.
IEP adalah indikator penting yang mencerminkan keyakinan konsumen terhadap prospek penghasilan dalam enam bulan ke depan.
Artinya, masyarakat kini semakin pesimis terhadap kemungkinan peningkatan penghasilan mereka hingga akhir tahun ini, atau paling tidak hingga Desember 2025.
"Dari 135 menjadi 133 ya di Juni. Ini mendukung hipotesis konsumsi lemah dan peningkatan ketimpangan," ujarnya.
10. Gejolak eksternal
Fadhil pun mencatatkan bahwa tekanan eksternal yang meningkat, seperti tarif impor Presiden AS, Donald Trump, ekspor yang menurun dan suku bunga global tinggi juga memperburuk situasi perdagangan dan investasi.
Dirinya menyoroti adanya capital outflow dari pasar saham dan dari SRBI masing-masing sebesar Rp 59 triliun dan Rp 77,4 triliun.
Kemudian, dari data INDEF, tercatat ada net buy dari SBN itu sebesar Rp 59 triliun serta terjadi net capital outflow ya di pasar keuangan Indonesia itu. Tak hanya itu, penerimaan pajak turun pada semester pertama di tahun 2025 sebesar Rp267,3 triliun dari Rp332,9 triliun di semester pertama tahun 2024.
"Dropnya itu turunnya itu adalah sebesar hampir 20% ya. Nah jadi kita kan melihat bahwa seharusnya penerimaan pajak itu seiring dengan adanya pertumbuhan ekonomi semakin tinggi pertumbuhan ekonomi penerimaan pajak terutama PPNBM atau misalnya dari sisi konsumsi ya itu juga meningkat kan gitu penerimaan pajak yang seharusnya seperti itu," ujarnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi RI Terburuk Sejak Covid, Pemerintah Bakal Jor-joran Belanja
