OJK Turun Tangan Hadapi Tarif AS 19%, Kaji Program Kredit Ekspor
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji pembiayaan ekspor di perbankan guna menunjang kinerja komoditas unggulan Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam Konferensi Pers Hasil RDK Bulanan Juli 2025, Senin (4/8/2025).
Dia menuturkan langkah ini untuk merespons kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat (AS) sebesar 19%. Kajian mengenai kredit ekspor ini dilakukan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae.
"Terkait dengan perkreditan dari perbankan yang diberikan alokasinya kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspor beberapa komoditas utama ini, sedang dilakukan pendalaman lebih lanjut oleh Pak Dian dan bidang perbankan untuk melihat bagaimana ruang yang bisa dimanfaatkan dalam konteks pembiayaan dimaksud," ujar Mahendra, dikutip Selasa (5/8/2025).
Adapun kajian ini, menurut Mahendra, sudah dilakukan sejak Presiden AS Donald Trump mencanangkan 'Liberation Day'. OJK mencoba menghitung risiko dan mitigasi dari kebijakan AS tersebut. Ketika kajian ini hampir final, Mahendra mengaku OJK melihat peluang ke depannya.
"(Kajiannya) Sekarang ini bisa dikatakan hampir final dan sudah dapat angka besaran spesifik," kata Mahendra.
Dalam kajian ini, OJK memetakan enam komoditas ekspor utama RI ke AS. Komoditas tersebut, yaitu elektronik, alas kaki, minyak nabati, garmen, karet, dan furniture. Menurut data OJK, total nilai ekspor keenam produk ini hampir mencapai US$ 14 miliar atau setara 52% dari total ekspor RI ke AS.
Mahendra menilai RI memiliki potensi di pasar ekspor elektronik. Hal ini dimungkinkan karena beberapa negara pengekspor elektronik ke AS rata-rata mendapatkan tarif yang lebih tinggi dari RI. Sementara itu, China dan AS belum mencapai kesepakatan apapun.
"Ekspor kita untuk electrical equipment dan suku cadang terbuka luas juga disandingkan dengan negara lain," katanya.
Hal yang sama juga berlaku bagi ekspor alas kaki dan minyak nabati. Untuk alas kaki, pesaing RI seperti Vietnam mendapatkan tarif lebih besar dan China pun belum ada kesepakatan apapun.
Terkait dengan minyak nabati, Indonesia adalah pengekspor terbesar kedua di AS. Posisi pertama adalah Kanada. Dia menilai tarif untuk Kanada belum ditentukan. Namun jika Kanada tidak masuk ke dalam cakupan perjanjian trilateral Meksiko-Kanada-AS, besar kemungkinan Kanada akan terkena tarif 35%.
Jika Kanada masuk ke dalam perjanjian trilateral, maka Kanada bebas tarif ke AS.
"Belum tahu kami apakah ini termasuk cakupan persetujuan MCA - Meksiko, Kanada, Amerika - atau tidak. Kalau tidak termasuk maka dia kena 35% tapi kalau termasuk dia tidak terkena tarif sama sekali," ungkap Mahendra.
Oleh karena itu, OJK akan memantau perkembangan ekspor RI dan ruang serta penetapan tarif antara sejumlah negara lain dan AS.
OJK, katanya, berada di bawah koordinasi pemerintah untuk mendukung upaya lebih lanjut meningkatkan daya saing sehingga bisa manfaatkan peluang.
"Kondisi disruptif itu bisa untuk meningkatkan ekspor. Supaya bisa perbaiki iklim investasi di Indonesia," tegasnya.
(haa/haa)