
Polemik Beras di RI Nggak Habis-Habis, Pemerintah Bisa Buat Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah merancang ulang skema klasifikasi beras nasional. Dalam rencana terbaru, klasifikasi beras premium dan medium akan dihapus dan diganti dengan hanya dua kategori, yakni beras umum (reguler) dan beras khusus.
Namun, langkah ini masih memunculkan tanda tanya besar di publik, apakah kebijakan ini benar-benar bisa menyelesaikan kekacauan perberasan?
Seperti diketahui, persoalan perberasan di Indonesia seperti tak ada habisnya. Dan, selalu berkutat di isu serupa: mulai dari harga yang fluktuasi dan tak terkendali, masalah oplosan, pelanggaran ketentuan mutu, harga gabah petani, harga eceran tertinggi (HET) beras, hingga aksi-aksi kecurangan lainnya. Nasib petani dan konsumen dipertaruhkan. Juga, nasib pihak-pihak lain di rantai pasok mulai dari penggilingan padi, logistik, hingga pedagang.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai kebijakan ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Ia menyebut, upaya penyederhanaan klasifikasi harus dibarengi dengan reformulasi sistem harga, mutu, dan distribusi beras nasional. Tanpa itu, masalah lama justru bisa terulang.
Ia pun merinci empat alternatif kebijakan yang menurutnya dapat dipertimbangkan pemerintah. Masing-masing punya konsekuensi tersendiri, baik bagi konsumen, pelaku industri penggilingan padi, maupun tata kelola pangan secara nasional.
1. HET Beras Umum Sama dengan Beras Premium SNI 2015
Alternatif pertama, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras umum berdasarkan standar mutu beras premium versi Standar Nasional Indonesia (SNI) 2015. Standar ini mensyaratkan maksimal butir patah 5%, butir menir 0%, dan derajat sosoh minimal 95%.
"Dengan ketentuan ini, harga beras dengan kelas mutu di bawahnya akan menyesuaikan," kata Khudori dalam catatannya yang diterima CNBC Indonesia, dikutip Kamis (31/7/2025).
Ia menjelaskan, SNI 2015 merupakan standar paling ideal karena merujuk pada mutu beras internasional, sejalan dengan target ekspor beras Indonesia pada tahun 2029 mendatang.
"Bukankah Kementerian Pertanian menargetkan ekspor beras pada 2029? Bukankah Indonesia juga terkadang memberi bantuan beras ke negara lain? Acuan ke SNI 2015 membuat kualifikasi mutu beras Indonesia setara beras dunia, yakni kualitas terbaik. Beras terbaik ini pula untuk bantuan ke negara lain. Bukan beras medium," ucap dia.
Menurutnya, skema ini memungkinkan penggilingan padi besar bersaing dalam kualitas, sementara penggilingan kecil tetap bisa memproduksi beras kelas di bawahnya. Namun, konsekuensinya, harga beras cenderung mendekati HET, dan konsumen berpenghasilan rendah bisa terdorong membayar lebih mahal.
2. HET Beras Umum di Titik Tengah Medium-Premium
Opsi kedua adalah menetapkan HET beras umum di titik tengah antara HET dan mutu beras medium dan premium. Artinya, mutu ditentukan pada maksimal butir patah 12,5-15%, dan butir menir 1%.
Namun, pendekatan ini memiliki risiko serius. "Masyarakat yang biasa mengonsumsi beras medium akan terbebani oleh kenaikan harga," jelas Khudori.
Selain itu, penggilingan padi kecil dikhawatirkan tidak mampu memenuhi mutu tersebut, sehingga mereka bisa tersingkir dari pasar. Meski begitu, menurutnya, opsi ini tetap menjaga regulasi Indonesia agar selaras dengan standar internasional.
3. Bebaskan HET Premium, Wajibkan Produksi Medium
Alternatif ketiga, pemerintah hanya menetapkan HET pada beras medium, sementara beras premium dilepas ke mekanisme pasar. Namun, produsen diwajibkan tetap memproduksi beras medium dalam rasio tertentu, misalnya 50:50.
Jadi, HET hanya ada pada beras medium dengan kualifikasi mutu maksimal butir patah 25%, butir menir 2%, dan derajat sosoh minimal 95%.
"Dengan cara ini, produsen beras premium bisa berlomba-lomba menawarkan produk terbaik bagi konsumennya. Dengan tiada HET beras premium, keuntungan produsen bisa di-'subsidi' silangkan ke beras medium," jelasnya.
Menurutnya, dengan skema ini penggilingan padi kecil tetap bisa memproduksi dan melayani konsumen sesuai kemampuan. Sementara itu, konsumen beras premium dan medium juga tetap bisa terlayani, sesuai kemampuan daya beli.
"Yang lebih penting, dengan rasio kewajiban memproduksi beras medium dengan rasio tertentu tidak perlu ada kekhawatiran pasokan beras konsumsi warga kebanyakan atau kurang. Lebih dari itu, regulasi di sini tetap selaras dengan internasional," tukas dia.
4. Hapus HET, Ganti dengan 'Harga Langit-Langit'
Alternatif terakhir adalah menghapus skema HET seluruhnya, baik untuk beras premium maupun medium, dan menggantinya dengan sistem ceiling price (harga langit-langit) atau harga batas atas. Berbeda dengan HET yang mengikat publik, ceiling price hanya mengikat pemerintah lewat Bulog.
"'Harga langit-langit' tidak perlu diumumkan ke publik seperti HET. Tapi menjadi alarm bagi pemerintah lewat Bulog untuk mengintervensi pasar," katanya.
Namun, agar skema ini berjalan efektif, peran Bulog harus diubah secara fundamental. Dari yang sebelumnya reaktif dalam merespons gejolak harga, menjadi pelaku pasar aktif dan pembentuk harga beras nasional.
"Volume bisnis pemerintah yang dikelola Bulog harus diperbesar, dari rata-rata 8-10% saat ini menjadi paling sedikit 20%, idealnya 30%, dari konsumsi beras masyarakat Indonesia," terang Khudori.
Dengan model stok dinamis, Bulog akan berperan bukan hanya sebagai penyedia cadangan untuk darurat, tapi juga sebagai pemain harian yang bisa menjaga stabilitas harga.
Lebih lanjut, Khudori menegaskan, apapun alternatif kebijakan yang dipilih pemerintah nantinya, semuanya perlu disiapkan dengan waktu transisi yang memadai bagi pelaku usaha dan pemerintah daerah. Ia juga menyoroti pentingnya merevisi kebijakan pembelian gabah oleh pemerintah yang saat ini masih membeli semua kualitas tanpa syarat mutu.
"Kebijakan pembelian gabah semua kualitas harus diubah dan dikembalikan dengan syarat kualitas, maksimal kadar air 25% dan butir hampa 10%. Juga ada rafaksi harga gabah," tegasnya.
Kebijakan Harga Pokok Penjualan (HPP) gabah dan HET beras, menurutnya, harus satu paket. Bila HPP naik tanpa penyesuaian HET, maka keseimbangan antara pelaku di hulu (petani) dan hilir (penggilingan) akan terganggu.
Khudori mengingatkan, tata kelola perberasan menyangkut hajat hidup mayoritas rakyat Indonesia, termasuk 285 juta konsumen, jutaan petani, dan ratusan ribu unit penggilingan padi. Karena itu, pemerintah tidak boleh gegabah.
"Ini bukan berarti menutup mata atas pelanggaran yang terjadi. Yang sudah terjadi silahkan ditindak sesuai pelanggaran. Tapi di lain pihak, harus ada upaya introspeksi dan koreksi atas kebijakan yang tidak adil yang mendorong penyimpangan terjadi," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Heboh Tipu-Tipu Beras Oplosan, Polisi Sudah Turun Tangan-Ini Aturannya
