
Bos Pengusaha Kaji Efek Produk Impor AS Bebas TKDN, Sebut Losers

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mulai menyuarakan kekhawatirannya atas dampak penghapusan - relaksasi kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), terutama setelah kesepakatan dagang Indonesia-Amerika Serikat (AS) diteken.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengungkapkan, sejumlah sektor dalam negeri bisa terdampak negatif akibat kebijakan ini.
"Memang ada beberapa kekhawatiran dari beberapa industri. Saya sudah katakan, tidak mungkin semua itu diuntungkan. Pasti ada juga industri yang losers. Cuma yang losers ini apa? Apakah ada industri tertentu yang memang akan terpengaruh secara negatif kalau memang (TKDN) ini dibuka, dan bagaimana kita bisa bantu supaya imbasnya tidak terlalu dalam?" kata Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Perjanjian dagang atau Agreement on Reciprocal Trade (ART) antara Indonesia dan AS menjadi titik awal munculnya kekhawatiran tersebut. Salah satu poin kesepakatan menyebut sejumlah produk asal AS, seperti alat kesehatan, perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta data center, akan dibebaskan dari syarat TKDN untuk bisa masuk ke pasar Indonesia.
Kondisi ini dinilai berpotensi menguntungkan pihak AS, terutama karena mayoritas produk mereka sudah dikenakan tarif masuk yang rendah. Namun demikian, dampaknya terhadap pelaku industri dalam negeri masih perlu dikaji lebih lanjut.
"Produk Amerika yang masuk ke Indonesia itu hampir 90% sudah dapat tarif 0-5%. Jadi kalau dikasih tarif 0% itu sebenarnya tidak beda-beda jauh. Tapi ini yang perlu dikaji, apakah ada sektor dalam negeri yang bakal terdampak serius? Ini yang sedang kami pelajari bersama," ungkapnya.
Shinta menegaskan, Apindo bukan menolak konsep TKDN. Justru, ujarnya, asosiasi mendukung implementasi TKDN secara bertahap dan berbasis insentif. Ia menyarankan agar pemerintah tetap menjaga keseimbangan agar kebijakan tersebut tidak membebani pelaku usaha, terutama yang masih bergantung pada impor.
"Apindo merasa memang nomor satu kita perlu keseimbangan. Kalau segi local content itu jelas dibutuhkan, tapi apakah industrinya sudah siap? Karena industrinya beda-beda, ada yang sudah siap, ada yang belum. Makanya pemerintah perlu roadmap untuk TKDN, agar tidak menyulitkan pengusaha, apalagi yang hubungannya dengan impor," terang dia.
Menurutnya, pendekatan berbasis insentif akan lebih efektif mendorong partisipasi pelaku usaha dibandingkan pendekatan sanksi. Perusahaan yang berhasil memenuhi TKDN tinggi semestinya diberikan penghargaan, bukan justru dikenai beban tambahan.
Di sisi lain, Shinta menilai kekhawatiran atas diberlakukannya pelonggaran TKDN akan menyebabkan gelombang PHK, itu terlalu berlebihan. Ia menekankan, hubungan antara kebijakan TKDN dan PHK tidak bersifat langsung, karena dampak lebih besar justru datang dari daya saing nasional dan kemudahan berinvestasi.
"Menurut saya itu tidak langsung berhubungan antara TKDN dengan PHK. Karena kenyataannya, kita juga ada aturan-aturan main untuk mendorong investasi produksi di Indonesia, selama kita bisa menyiapkan enabler environment yang baik," ucap Shinta.
Shinta menambahkan, tantangan utama pelaku usaha saat ini adalah biaya berusaha di Indonesia yang masih tinggi serta regulasi yang kerap tumpang tindih. Ia mendorong pemerintah agar mempercepat proses deregulasi agar iklim bisnis semakin kondusif.
"Konsep deregulasi ini yang harus menjadi titik utama. Saat ini kita masih dianggap melakukan bisnis di Indonesia itu masih sulit. Perizinan dan regulasi tumpang tindih antara pusat dan daerah, ini juga masih menjadi fenomena klasik yang justru menghambat investasi," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Airlangga Ungkap 4 Poin Penting Misi Tim Negosiasi Tarif AS
