
Pakar UI Soroti Deal Dagang RI-AS: TKDN & Dampak Transfer Data

Jakarta, CNBC Indonesia - Para akademisi Universitas Indonesia (UI) menyoroti sejumlah isu krusial dalam kerangka kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang dinegosiasikan beberapa waktu terakhir.
Di bawah bayang-bayang kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump, isu transfer data pribadi hingga tekanan terhadap kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dinilai berpotensi mengancam kedaulatan regulasi dan daya saing sektor strategis nasional.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menilai munculnya isu "transfer data" sebagai bentuk kompensasi atas kebijakan tarif AS terhadap Indonesia sebesar 19% merupakan tekanan yang berbahaya bagi kedaulatan negara.
"Yang diperdebatkan publik sejauh ini belum merupakan kesepakatan final, melainkan baru dalam bentuk Joint Statement antara kedua negara. Namun, AS sudah menekan Indonesia untuk membuka keran transfer data pribadi ke luar negeri, tanpa syarat," ujar Hikmahanto dalam pernyataan tertulis, Jumat (25/7/2025).
Dalam dokumen Joint Statement on Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade, pemerintah Indonesia disebut berkomitmen menghapus hambatan digital, termasuk "memberikan kepastian soal transfer data pribadi ke AS."
Menurut Hikmahanto, ini menyangkut perusahaan digital raksasa seperti Netflix, Spotify, dan Amazon yang membutuhkan akses data pengguna untuk menjalankan bisnis mereka di Indonesia.
Namun, regulasi Indonesia, termasuk UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), mengatur bahwa transfer data lintas negara harus memenuhi sejumlah ketentuan ketat.
"Jika syarat-syarat ini dihapus hanya untuk menyenangkan AS, maka negara lain seperti China juga akan menuntut hal serupa. Ini bisa membuka celah intervensi asing terhadap hukum nasional. Presiden Prabowo tentu akan menolak hal semacam ini," tegasnya.
TKDN
Dari sisi ekonomi, Wakil Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Mohamad Dian Revindo, menekankan bahwa pemerintah harus berhati-hati menanggapi permintaan AS untuk meninjau ulang hambatan non-tarif seperti kebijakan TKDN.
"TKDN adalah benteng proteksi bagi industri domestik dari kompetisi yang tidak sehat. Jika dihapus, konsumen dan importir memang akan diuntungkan, tapi industri lokal bisa hancur. Harus ada seleksi ketat sektor mana yang bisa dilepas, dan penghapusannya harus dilakukan secara bertahap," kata Revindo kepada CNBC Indonesia.
Revindo juga menggarisbawahi bahwa tekanan terhadap Indonesia seharusnya dijawab dengan argumen kuat, seperti fakta bahwa tarif MFN (Most Favored Nation) Indonesia masih relatif rendah, yakni rata-rata 8,6% untuk produk pertanian dan 7,9% untuk non-pertanian (USTR, 2025).
Selain itu, ia mendorong pemerintah untuk membuka negosiasi Preferential Trade Agreement (PTA) atau FTA terbatas dengan AS; memanfaatkan posisi Indonesia sebagai penerima fasilitas Generalized System of Preferences (GSP); dan menunjukkan komitmen kebijakan industri yang diarahkan untuk daya saing, bukan hanya menyenangkan kekuatan ekonomi besar dunia.
"Jika negosiasi tetap berbasis kekuatan dan bukan aturan (power-based, bukan rule-based), Indonesia harus serius memperkuat blok kerja sama alternatif seperti RCEP dan BRICS," tambahnya.
Deal Trump: Jet, Energi, dan Kedelai
Dalam berbagai perjanjian dagang bilateral, administrasi Trump diketahui mendorong mitra-mitranya, termasuk Indonesia, Filipina, dan Vietnam, untuk memberikan konsesi besar, baik berupa penurunan tarif hingga komitmen pembelian produk AS.
"Untuk Indonesia, komitmennya tidak main-main: pembelian energi sebesar US$15 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, dan 50 unit jet Boeing. Hal serupa juga diberlakukan ke Filipina dan Vietnam, meskipun bentuknya bervariasi," kata Revindo.
Ia mengingatkan, jika AS tidak bersedia membuka ruang negosiasi berbasis keadilan dan prinsip timbal balik, Indonesia harus punya rencana cadangan.
"Jangan sampai Indonesia dipaksa tunduk pada kesepakatan yang jangka panjangnya merugikan. Ini bukan cuma soal tarif, tapi juga soal masa depan industri, perlindungan data warga negara, dan posisi kita dalam rantai pasok global," tandasnya.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Prabowo Soal Tarif Trump: Tenang, Kita Akan Berunding dengan Amerika
