BPS & Bank Dunia Beda Cara Hitung Kemiskinan RI, Ini Penjelasannya!

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
Senin, 28/07/2025 07:55 WIB
Foto: Suasana aktivitas warga pada permukiman kumuh yang berdekatan dengan rel kereta di Jakarta, Senin (2/6/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) dan lembaga internasional, World Bank atau Bank Dunia, ternyata memiliki perbedaan dalam penghitungan angka kemiskinan. Hal ini pun menjadi sorotan banyak pihak.

Pasalnya, standar penghitungan Bank Dunia melambungkan angka kemiskinan Indonesia. Bank Dunia mencatat lebih dari 60,3% penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.

Sementara itu, BPS mengungkapkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa. Untuk memahami perbedaan ini berikut ini, penjelasan lengkap cara penghitungan BPS dan Bank Dunia.


Versi Bank Dunia

Perbedaan ini berawal dari kebijakan Bank Dunia mengubah standar penghitungannya. Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan global dengan mengadopsi besaran paritas daya beli atau Purchasing Power Parities (PPP) 2021 dari yang sebelumnya menggunakan PPP tahun referensi 2017.

PPP tahun referensi 2021 ini telah dipublikasikan Bank Dunia dalam The International Comparison Program (ICP) edisi Mei 2025. Penerapan 2021 PPP ini menyebabkan Bank Dunia merevisi ke atas garis kemiskinan global.

"Penerapan PPP tahun 2021 menyiratkan adanya revisi terhadap garis kemiskinan global," dikutip dari dokumen Bank Dunia berjudul June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP).

Dalam dokumen Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP) edisi Juni 2025, Bank Dunia merevisi ke atas tiga lini garis kemiskinan. Untuk garis kemiskinan internasional atau yang biasanya menjadi ukuran tingkat kemiskinan ekstrem dari semula US$ 2,15 2017 PPP menjadi US$ 3.00 2021 PPP.

Lalu, untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah dari US$ 3,65 menjadi US$ 4,20. Sementara itu, untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas, seperti Indonesia di dalamnya, dari semula sebesar US$ 6,85 2017 PPP menjadi US$ 8,30 2021 PPP.

PPP itu sendiri merupakan ukuran standar yang dibuat untuk membandingkan sekumpulan harga barang dan jasa yang identik di berbagai negara dengan penyesuaian nominal nilai tukarnya. Nilai dolar AS di situ bukanlah kurs nilai tukar saat ini di pasaran, melainkan sebatas penanda paritas daya beli.

Bank Dunia menegaskan, revisi terhadap tiga lini garis kemiskinan itu berdasarkan 2021 PPP membuat jumlah kemiskinan di berbagai belahan dunia ikut naik.

Kawasan Asia Timur dan Pasifik misalnya, jumlah orang miskinnya bila menggunakan standar garis kemiskinan ekstrem US$ 3 2021 PPP menjadi sebanyak 54 juta orang per Juni 2025, dari data per September 2024 sebanyak 20, 3 juta orang dengan standar US$ 2,15 2017 PPP.

Kawasan Amerika Latin dari sebanyak 22,6 juta jiwa menjadi 33,6 juta jiwa. Eropa dan Asia Tengah dari 2,4 juta jiwa menjadi 5,3 juta jiwa, dan Sub-Saharan Afrika dari 448 juta jiwa menjadi 558,8 juta jiwa.

"Sebagian besar revisi ke atas ini berasal dari Afrika Sub-Sahara, yang merupakan rumah bagi dua pertiga dari jumlah penduduk miskin ekstrem di dunia," kata Bank Dunia dalam Poverty and Inequality Platform (PIP) edisi Juni 2025 itu.

Bila menggunakan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas yang sebesar US$ 8,30 2021 PPP, maka jumlah orang miskin di Kawasan Asia Timur dan Pasifik menjadi 679,2 juta jiwa per Juni 2025, dari sebelumnya 584,2 juta jiwa.

Kawasan Amerika Latin dari sebanyak 165 juta jiwa menjadi 185,2 juta jiwa. Eropa dan Asia Tengah dari 40,3 juta jiwa menjadi 59.3 juta jiwa, dan Sub-Saharan Afrika dari 1,06 miliar jiwa menjadi 1,06 miliar jiwa.

Adapun untuk Indonesia, bila dihitung secara kasar kenaikan standar garis kemiskinan itu menggunakan asumsi linier, yakni jumlah penduduk miskin naik proporsional terhadap kenaikan standar PPP, angkanya juga naik.

Jumlah kenaikan orang miskin ini mendasari dari jumlah populasi di Indonesia pada 2024 yang sebanyak 285,1 juta, serta tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin Indonesia berdasarkan data Macro Poverty Outlook Bank Dunia edisi April 2025.

Dalam dokumen Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia mencatat tingkat kemiskinan di Indonesia dengan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas US$ 6,85 2017 PPP per kapita per hari adalah 60,3% dari jumlah penduduk pada 2024, yakni setara 171,91 juta jiwa.

Maka, bila mempertimbangkan asumsi linier kenaikan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas menjadi US$ 8,30 2021 PPP per kapita per hari dari sebelumnya US$ 6,85 2017 PPP, jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi sekitar 208,38 juta jiwa. Tingkat kemiskinannya setara 73,1% dari total penduduk pada 2024.

Penting dicatat, jumlah kenaikan penduduk miskin Indonesia itu sebatas perhitungan dasar membandingkan kenaikan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas dengan jumlah penduduk miskinnya, bukan tertuang secara resmi dalam dokumen Bank Dunia atau World Bank.

Penjelasan BPS

BPS menegaskan pihaknya memiliki standar yang berbeda dalam melakukan perhitungan data kemiskinan Indonesia, dibandingkan Bank Dunia (World Bank). Meskipun kedua institusi mengandalkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, hasil akhir dari perhitungan dapat berbeda.

Adapun perbedaan terdapat dalam penggunaan spasial deflator sebagai pendekatan baru Bank Dunia konsep besaran paritas daya beli atau Purchasing Power Parities (PPP).

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono menjelaskan bahwa BPS menggunakan standar nasional dalam menghitung garis kemiskinan. Sementara, Bank Dunia, melakukan perhitungan dengan perbandingan global.

Purchasing Power Parities (PPP) digunakan untuk mengukur kemiskinan secara internasional dengan membandingkan daya beli masyarakat di berbagai negara. Namun, Bank Dunia secara rutin merevisi dan memperbarui metode perhitungan PPP sebagai bentuk International Comparison Program (ICP).

Dalam perhitungan terbarunya pada tahun 2022, Bank Dunia menggunakan pendekatan baru yang lebih kompleks bernama spasial deflator.

Pendekatan tersebut baru digunakan oleh Badan Pusat Statistik untuk menghitung data kemiskinan ekstrim. Sementara untuk data kemiskinan lainnya, BPS masih menggunakan metode perhitungan PPP tahun 2017.

"Nah, karena World Bank ya menggerakkan dengan spesial deflator, ya kami juga kemarin teman-teman semuanya melakukan penghitungan menyesuaikan untuk kemiskinan ekstrim dengan menggunakan spasial deflator," ujar Ateng dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025).

Spasial deflator adalah alat statistik yang memperhitungkan perbedaan harga antarwilayah suatu negara. Di Indonesia, disparitas harga untuk satu kota dengan kota lainnya bahkan antar kabupaten, bisa sangat besar.

"Jadi spasial deflator itu kan mencerminkan perbedaan harga antarwilayah di Indonesia, bahkan sampai kabupaten, kota. Jadi itu kita mengadopsi untuk kemiskinan ekstrim, karena di sini BPS merilis pertama kalinya," ujarnya.

Sebelumnya, BPS menegaskan pihaknya mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Seperti disampaikan di atas, garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Susenas yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat.

Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun. Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia.

Sikap Pemerintah

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah belum ada rencana untuk mengubah standar perhitungan angka kemiskinan nasional.

Airlangga menjelaskan bahwa saat ini pemerintah masih mengikuti acuan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik untuk mengukur garis kemiskinan.Yakni Survei Ekonomi Sosial Nasional atau SUSENAS.

Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan bahwa pendekatan PPP tentu menjadi penting dalam pengukuran garis kemiskinan. Namun, hingga saat ini pemerintah belum ada rencana untuk mengubah standar pengukuran garis kemiskinan yang sudah ada.

"Dan yang paling penting adalah terkait dengan projection power parity. Jadi itulah yang sekarang kita gunakan. Nanti kita lihat ke depannya tetapi saat sekarang pemerintah belum ada rencana untuk mengubah itu," ujarnya.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Angka Kemiskinan Turun, Apa Benar Hidup Membaik?