Angka Kemiskinan Turun, Ekonom Ragukan Data BPS

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
25 July 2025 18:00
Suasana aktivitas warga pada permukiman kumuh yang berdekatan dengan rel kereta di Jakarta, Senin (2/6/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana aktivitas warga pada permukiman kumuh yang berdekatan dengan rel kereta di Jakarta, Senin (2/6/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang. Secara persentase, jumlahnya mencapai 8,74 % dari total penduduk. Angka ini menurun 0,1 persen poin terhadap posisi September 2024.

Adapun, menurut BPS, penghitungan angka penduduk miskin ini didasari oleh Susenas Maret 2025. Penghitungan penduduk miskin ini mengacu pada angka pengeluaran penduduk miskin atau standar Garis Kemiskinan.

Dari data BPS, Garis Kemiskinan pada Maret 2025 adalah sebesar Rp609.160,00 per kapita per bulan. Dibandingkan September 2024, Garis Kemiskinan naik sebesar 2,34%.

Founder dan Direktur Eksekutif CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menuturkan angka kemiskinan versi BPS terjadi karena angka kemiskinan selama ini masih menggunakan garis kemiskinan yang lama.

"Kemiskinan versi BPS terjadi karena angka kemiskinan selama menggunakan metode Garis Kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi Garis Kemiskinan sama saja data nya kurang valid," papar Bhima saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (25/5/2025).

Alhasil, data BPS kerap tidak bisa menjadi acuan program bantuan sosial. Ujung-ujungnya, kata Bhima, pemerintah harus mencari data sendiri, by name by address, untuk memetakan orang miskin dengan kriteria yang berbeda engan BPS. Ini memicu tambahan biaya dalam anggaran perlindungan sosial (Perlinsos).

"Biaya pendataan penerima manfaat anggaran Perlinsos jadi sangat mahal," tegasnya.

Masalah ini tidak hanya muncul dalam hal Perlinsos, tetapi juga dalam pembagian subsidi BBM, LPG dan lainnya.

"Maka dari itu akhirnya masing masing kementerian punya standar sendiri dalam menentukan kebijakannya," katanya.

BPS vs Bank Dunia

Sebelumnya, publik memang menyoroti adanya perbedaan data angka kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia. Dalam laporan tahun 2024, Bank Dunia menyebutkan 60,3% penduduk Indonesia atau 171,8 juta jiwa masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sementara jumlah lain disebutkan BPS yakni 8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024.

BPS menjelaskan angka keduanya muncul karena perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan tujuan yang berbeda. Bank Dunia, misalnya, menggunakan standar yang disesuaikan dengan daya beli (purchasing power parity atau PPP).

Jadi data yang didapatkan menghitung standar negara upper-middle income, yakni US$6,85 per kapita per hari. "Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03," ujar BPS dalam keterangan resminya.

Sementara BPS menghitung berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Kemiskinan RI Versi Bank Dunia & BPS Berbeda, Ini Penjelasannya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular