Beda dari Bank Dunia, Pemerintah Belum Mau Ubah Perhitungan Kemiskinan

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
25 July 2025 17:20
Seorang anak bermain di bantaran sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta Selatan, Senin (12/11/2018). Warga sekitar mengaku betah tinggal di kawasan kumuh bantaran kali meski rela kebanjiran di kala musim penghujan. Kepala BPS, Suhariyanto, menyebut bahwa angka kemiskinan 9,82% ini bukanlah jumlah yang sedikit jika mengacu pada jumlah keseluruhan penduduk Indonesia.
Foto: Seorang anak bermain di bantaran sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta Selatan, Senin (12/11/2018). Warga sekitar mengaku betah tinggal di kawasan kumuh bantaran kali meski rela kebanjiran di kala musim penghujan. (CNBC Indonesia/ANdrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah belum ada rencana untuk mengubah standar perhitungan angka kemiskinan nasional.

Pasalnya, Bank Dunia kini meningkatkan standar besaran paritas daya beli atau Parity Purchasing Power (PPP) 2017 menjadi 2022.

Airlangga menjelaskan bahwa saat ini pemerintah masih mengikuti acuan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik untuk mengukur garis kemiskinan.Yakni Survei Ekonomi Sosial Nasional atau SUSENAS.

"Jadi angka kemiskinan kita ikut pada angka statistik BPS dan perhitungan yang kita pakai. Karena tentu data kemiskinan masing-masing negara itu berbeda," ujar Airlangga kepada wartawan, Jumat (25/7/2025).

Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan bahwa pendekatan PPP tentu menjadi penting dalam pengukuran garis kemiskinan. Namun, hingga saat ini pemerintah belum ada rencana untuk mengubah standar pengukuran garis kemiskinan yang sudah ada.

"Dan yang paling penting adalah terkait dengan projection power parity. Jadi itulah yang sekarang kita gunakan. Nanti kita lihat ke depannya tetapi saat sekarang pemerintah belum ada rencana untuk mengubah itu," ujarnya.

Namun di sisi lain, Badan Pusat Statistik menggunakan PPP untuk menghitung standar garis kemiskinan ekstrem.

BPS pun telah menggunakan pendekatan baru World Bank dalam penggunaan metode PPP, yakni spasial deflator.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono menjelaskan spasial deflator adalah alat statistik yang memperhitungkan perbedaan harga antarwilayah suatu negara. Di Indonesia, disparitas harga untuk satu kota dengan kota lainnya bahkan antar kabupaten, bisa sangat besar.

"Jadi spasial deflator itu kan mencerminkan perbedaan harga antarwilayah di Indonesia, bahkan sampai kabupaten, kota. Jadi itu kita mengadopsi untuk kemiskinan ekstrim, karena di sini BPS merilis pertama kalinya," ujarnya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mensos Ingin Gabung CSR ke Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular