
Cikal Bakal Hubungan 'Panas-Dingin' AS & China, Ada Andil 2 Tokoh Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada masa kepresidenan Jimmy Carter, terjadi momen paling dramatis dalam hubungan China-Amerika pada 15 Desember 1978. Setelah berbulan-bulan melakukan negosiasi rahasia, Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) akhirnya mengumumkan bahwa kedua negara akan saling mengakui dan menjalin hubungan diplomatik resmi pada akhir 1978.
Dibukanya hubungan diplomatik ini juga ditandai dengan normalisasi hubungan di era Wakil Perdanan Menteri China Deng Xiaoping. Saat itu, China yang tengah membuka diri meminta AS berinvestasi di Negeri Panda. AS pun menyambut permintaan ini. Syaratnya, Jimmy Carter meminta likuiditas yang didapat China dari investasi AS bisa kembali diinvestasikan di surat utang AS.
"Jadi ada semacam cycling, AS investasi ke sana (China) dan China ekspor barang ke AS tetapi dia harus membeli semacam surat utang," papar Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, dalam Editors Gathering BI, dikutip Jumat (25/7/2025).
David menuturkan pola ini bergulir sejak tahun 1979. Kondisi ini memberikan keuntungan besar bagi China. Sebagai catatan, hubungan yang lebih baik dengan AS dapat menawarkan teknologi yang lebih maju kepada Tiongkok setelah terisolasi selama beberapa dekade. Inilah yang dimanfaatkan oleh China.
Posisi China pun semakin menguat setelah China masuk sebagai anggota World Trade Organization (WTO) pada 2001. Pelan tapi pasti China mulai menajamkan kukunya sebagai eksportir global.
Keanggotaan WTO telah mendorong Tiongkok untuk melakukan reformasi ekonomi yang luas, termasuk liberalisasi perdagangan, pengurangan hambatan administratif, dan peningkatan perlindungan hak kekayaan intelektual. Menurut David, pada tahun 2001-2008 China sudah membangun industri low-tech atau padat karya. Pada saat yang sama, defisit neraca perdagangan AS telah menjadi sorotan.
Kemudian, pada 2020 hingga saat ini, China sudah menjadi negara dengan industri high technology yang sangat maju. Harus diakui, perkembangan China ini telah menyingkirkan AS, baik secara teknologi maupun ekonomi.
"Pada 2020 China masuk ke high-tech, saat itu defisit (neraca perdagangan) AS semakin meningkat," papar David.
Kondisi ini yang memicu Presiden Donald Trump berambisi mengembalikan kejayaan AS, dengan mengembalikan kejayaan ekonominya. Salah satunya adalah dengan memperkuat ekspor dan industri AS. Upaya ini pun dilakukan secara ekstrem, yakni dengan menekan ketergantungan AS terhadap China, melalu penerapan tarif bea masuk selangit.
Pada periode kedua presidensinya, Trump mengancam China dengan tarif masuk hingga 145%. Kebijakan ini sempat memicu pertentangan antara Trump dan Presiden China Xi Jinping.
Namun, kedua negara telah mengesampingkan egonya dan memulai perundingan dagang. Sejauh ini, Beijing telah sepakat untuk mengakhiri larangan ekspor logam tanah jarang dan magnet ke AS. Washington setuju untuk memulai kembali pengiriman perangkat lunak desain semikonduktor dan material produksi, serta mesin pesawat komersial dan barang-barang lainnya ke Tiongkok.
Kedua belah pihak menetapkan batas waktu 90 hari untuk menyelesaikan masalah yang lebih mendalam, termasuk keluhan AS tentang model ekonomi Tiongkok yang dikuasi dan disubsidi oleh negara. Model ekonomi inilah yang menurut AS telah menciptakan kelebihan kapasitas manufaktur dan membanjiri pasar dunia dengan barang-barang murah.
Dikutip dari Reuters, China menyangkal telah mensubsidi industrinya dan mengaitkan keberhasilan ekspor mereka dengan inovasi. Tarif dapat kembali ke 145% di pihak AS dan 125% di pihak Tiongkok tanpa kesepakatan atau perpanjangan negosiasi.
"Kami akan menggodok kemungkinan perpanjangan pada perundingan Stockholm," kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent. Dalam perundingan tersebut, Bessent pun menambahkan bahwa para pejabat AS akan membahas isu-isu lain, termasuk mengurangi ketergantungan Tiongkok yang berlebihan pada manufaktur dan ekspor.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: RI Masuk Peringkat Terburuk Hambatan Perdagangan International
