
Gerai F&B China Diam-Diam Jajah RI, Pengusaha Lokal Mulai Dag Dig Dug

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia kini menjadi ladang subur bagi ekspansi besar-besaran merek makanan dan minuman (F&B) asal China. Brand-brand seperti Mixue, Heytea, Chagee, hingga Wedrink terus bermunculan di Pusat Perbelanjaan atau pusat-pusat keramaian kota, menandai gempuran agresif yang bisa mengancam eksistensi UMKM lokal.
Laporan lembaga riset asal Singapura, Momentum Works, mencatat bahwa sejak 2022 hingga pertengahan 2024, lebih dari 6.100 gerai F&B asal China telah beroperasi di Asia Tenggara. Sebanyak dua pertiga di antaranya, atau sekitar 4.000 gerai, berpusat di dua negara, yakni Indonesia dan Vietnam. Artinya, pasar Indonesia menjadi salah satu target utama ekspansi.
Langkah ekspansi ini bukan tanpa alasan. Persaingan bisnis F&B di dalam negeri China saat ini tengah berada di titik jenuh. Selama paruh pertama 2024 saja, lebih dari satu juta bisnis F&B di China tumbang. Angka ini melonjak 70% dibandingkan tahun sebelumnya.
Selain karena pasar yang sudah terlalu padat, tren "perang harga" antar pemain lokal seperti Luckin Coffee, Cotti, dan afiliasi Mixue (Lucky Cup) juga turut memperparah situasi. Harga segelas kopi bahkan bisa dijual hanya 6,6 yuan atau setara Rp15 ribuan, jauh di bawah harga rata-rata pasar internasional.
Sebaliknya, Asia Tenggara justru menawarkan peluang segar, di mana pertumbuhan ekonomi yang stabil, tingkat konsumsi yang terus naik, dan kompetisi pasar yang belum terlalu ketat.
Ketua Umum Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), Levita G. Supit menilai masuknya pemain F&B dari China membawa dampak ganda bagi pelaku lokal.
![]() Antrean pengunjung membeli es krim di kios mixue di kawasan bojongsari sawangan, Depok, Jawa Barat, Kamis, (29/12/2022). Kios yang baru dibuka sejak dua bulan lalu di sawangan itu ramai pembeli dari kalangan anak-anak sampai anak orang tua. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki) |
"Dengan banyak masuknya F&B China ke Indonesia, tentu ada dampak positif dan negatifnya. Sebelumnya kita juga diserbu oleh F&B dan produk Korea," kata Levita kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/7/2025).
Menurutnya, dari sisi positif, kompetisi ini bisa mendorong pelaku usaha lokal untuk lebih inovatif. "Pelaku usaha F&B lokal semakin kreatif terhadap produk mereka untuk menyaingi F&B China yang ada. Lalu pelaku usaha lokal dapat belajar dari kesuksesan bisnis F&B China termasuk produk-produk F&B unggulan China," lanjutnya.
Namun di sisi lain, persaingan ketat justru bisa mematikan usaha kecil yang tak kuat bertahan.
"Negatifnya adalah porsi market F&B jadi terbagi banyak, dengan semakin banyaknya kompetitor yang masuk, sehingga berakibat ada yang tidak bisa bertahan. Ditambah lagi kondisi perekonomian kita lagi menurun dan daya beli masyarakat juga semakin lesu, sehingga berdampak terhadap bisnis F&B di Indonesia, khususnya UMKM," terang dia.
Kendati demikian, Levita menegaskan, banyaknya bisnis yang tutup di pasar lokal tidak semata-mata karena kehadiran F&B China. "Banyak faktor yang menyebabkan banyak bisnis F&B yang tutup termasuk UMKM. Jadi bukan hanya dari serbuan F&B China saja," tegasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa banyak merek China yang beroperasi di Indonesia sebenarnya bekerja sama dengan mitra lokal.
"Pelaku bisnis F&B China yang di Indonesia juga adalah anak bangsa atau berpartneran karena sesuai regulasi negara kita," ungkap Levita.
Lebih lanjut, Levita memandang tak semua bisnis F&B merek asal China bisa selamanya akan terus menggerus pasar, atau bertahan dalam jangka panjang. Menurutnya, ada masa bagi bisnis yang ramai bermunculan tersebut hengkang dari pasar lokal, tergantung dengan bagaimana strategi mereka untuk bertahan.
"Untuk bisnis F&B China yang banyak masuk ke Indonesia juga kita belum tahu, apakah mereka bisa survive dan bertahan lama. Ada bisnis F&B China yang duluan masuk beberapa tahun lalu, sekarang sudah mulai sepi bahkan ada yang sudah tutup juga," pungkasnya.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gara-Gara Perang Tarif, Manufaktur RI Terancam Bahaya
