
Pemerintah Gagal Bikin Trump Turunkan Tarif 32% Bisa Makan 2 Korban

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump masih memberi waktu panjang untuk memberlakukan tarif dagang ke Indonesia yang tetap sebesar 32%.
Ia berencana mengimplementasikan tarif dagang pada 1 Agustus 2025, yang telah membuat pelaku pasar keuangan optimistis masih terbukanya ruang negosiasi bagi Indonesia.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, kondisi ini sebetulnya bisa menjadi penjelas arah pergerakan kurs mengalami penguatan pada penutupan perdagangan kemarin, Selasa (8/7/2025), saat Trump malah mengumumkan tetap mengenakan tarif dagang 32% ke RI meski negosiasi tarif telah dilakukan selama 90 hari ke belakang dengan pemerintah RI.
Sebagaimana diketahui, dalam penutupan perdagangan kemarin nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mampu menguat ke level Rp 16.200/US$ dibanding posisi pembukaan perdagangan yang sempat di level Rp 16.265/US$. Beriringan dengan indeks dolar AS (DXY) yang mengalami pelemahan sebesar 0,27% ke level 97,21 per pukul 15:00 WIB.
"Jadi ada ekspektasi, tarif ini belum sepenuhnya final," kata Sumual kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/7/2025).
Namun, David mewanti-wanti, kurs rupiah bisa berbalik arah bila pemerintah Indonesia tak kunjung menyampaikan langkah mitigasi serius jika sampai 1 Agustus 2025 Trump tak kunjung menurunkan tarif dagang ke RI. Sebab, tarif 32% ini lebih tinggi dibanding tarif yang dikenakan Trump ke negara-negara ASEAN lainnya.
Sebagaimana diketahui, tarif dagang yang dikenakan Trump ke Filipina hanya 17%, Vietnam 20%, Malaysia 25%, dan Korea Selatan 25%. Namun, memang masih lebih rendah bila dibanding Thailand yang dikenakan tarif dagang oleh Trump sebesar 36%, Kamboja 36%, Myanmar 40%, serta Bangladesh 35%.
"Jadi tetap perlu diwaspadai ke depan, dampak dari tarif Indonesia yang lebih tinggi dari negara-negara tetangga emerging market yang lain. Pemerintah perlu membuat rencana kontinjensi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk," ucap David.
Selain kurs yang bisa menjadi korban, David mewanti-wanti, pertumbuhan ekonomi pada 2026 juga bisa kembali tak mencapai target yang dicanangkan pemerintah di kisaran 5,2%-5,8%, meski klaimnya telah memperhitungkan pengenaan tarif Trump sebesar 32%. Pada 2025 saja, pemerintah akhirnya merevisi proyeksi pertumbuhan, dari 5,2% menjadi 4,7%-5%.
"Kalau tarifnya tidak ada perubahan atau permanen, kelihatannya agak sulit untuk mencapai pertumbuhan di atas 5,5%. Kecuali Indonesia bisa menggaet investasi lebih besar lagi pada 2026, terutama yang labor intensive," tegasnya.
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede juga telah memperingatkan bahwa pengumuman terbaru dari Trump yang mempertahankan tarif resiprokal terhadap Indonesia sebesar 32% memiliki dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek perekonomian Indonesia, mulai dari ekspor, pertumbuhan ekonomi, hingga nilai tukar rupiah.
Dari sisi ekspor, ia bilang kebijakan tarif yang tetap tinggi ini berpotensi mendorong pelemahan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika Serikat (AS). AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia dengan kontribusi sekitar 9-10% dari total ekspor Indonesia.
Dengan tarif tetap di level tinggi, ekspor produk Indonesia, terutama sektor-sektor unggulan seperti tekstil, alas kaki, perikanan, furnitur, dan komoditas manufaktur lainnya akan menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan pangsa pasar di AS.
Dampak langsungnya, kata Josua adalah menurunnya volume ekspor ke pasar AS, yang pada gilirannya berpotensi memperlebar defisit neraca transaksi berjalan Indonesia secara moderat hingga mencapai sekitar 0,87% dari PDB pada 2025.
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, tarif yang tetap tinggi diperkirakan akan menekan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar 0,3 hingga 0,5 poin persentase. "Hal ini menyebabkan revisi ke bawah terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 4,5-4,9% di tahun 2025," kata Josua.
Potensi lemahnya perekonomian ini disebabkan oleh kontraksi di sektor ekspor yang memiliki dampak lanjutan terhadap aktivitas produksi dalam negeri, investasi, serta konsumsi rumah tangga karena potensi pelemahan pendapatan dari sektor ekspor dan industri turunannya.
Sementara itu, dampak terhadap inflasi diprediksi Josua relatif terbatas. Walaupun tarif tinggi akan memicu kenaikan inflasi impor akibat potensi depresiasi rupiah, tekanan inflasi secara keseluruhan cenderung terkendali mengingat prospek pelemahan ekonomi global yang juga berpotensi menekan harga komoditas internasional. Dengan kondisi ini, inflasi tahunan Indonesia pada akhir 2025 ia ramal berada pada rentang 2,0-2,5%.
Untuk rupiah, reaksi pasar terhadap pengumuman tarif Josua anggap masih tergolong moderat. Oleh sebab itu, tekanan depresiasi rupiah ia perkirakan tetap terkendali mengingat potensi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve AS sebesar total 50 bps sepanjang 2025.
Pelemahan ekonomi AS juga berpotensi menekan harga komoditas global, sehingga mengurangi tekanan pada defisit transaksi berjalan dan memberikan dukungan terhadap stabilitas rupiah. Hingga akhir tahun 2025, rupiah ia ramal bisa bergerak dalam kisaran Rp 16.100 hingga Rp 16.400 per dolar AS.
Di sisi lain, dalam jangka pendek, sentimen negatif akibat tarif ini dapat mendorong keluarnya arus modal asing dari pasar finansial domestik, terutama pada pasar saham karena dampak negatifnya terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dan laba perusahaan eksportir.
Namun, pasar obligasi Indonesia relatif lebih terlindungi karena didukung oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia 10 tahun diperkirakan akan berada pada kisaran 6,60%-6,80% hingga akhir 2025.
Tapi, dalam jangka panjang, Josua mewanti-wanti kebijakan tarif yang tinggi secara berkelanjutan dapat mendorong pemerintah Indonesia untuk mempercepat diversifikasi pasar ekspor serta memperkuat integrasi dengan rantai nilai global.
"Hal ini penting guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS dan memperkuat ketahanan sektor eksternal Indonesia. Di sisi lain, apabila Indonesia berhasil mencapai kesepakatan dagang yang lebih lunak dengan AS sebelum batas waktu 1 Agustus 2025, dampak negatif yang dihadapi akan berkurang secara signifikan," tegas Josua.
Sebagai informasi tambahan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah terbang langsung ke Amerika Serikat (AS) pada Selasa, 8 Juli 2025, seusai menghadiri KTT BRICS di Brasil.
Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Kemenko Perekonomian, Haryo Limanseto. Perjalanan ini adalah bagian dari upaya menanggapi kebijakan tarif 32% yang dikenakan Presiden Donald Trump terhadap produk asal Indonesia.
"Menko Airlangga dijadwalkan akan mengadakan pertemuan dengan perwakilan Pemerintah AS untuk mendiskusikan segera keputusan tarif Presiden AS Donald Trump untuk Indonesia yang baru saja keluar," kata Haryo.
Menurutnya, Indonesia melihat masih memiliki ruang untuk merespons sebagaimana yang disampaikan oleh Pemerintah AS. "Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan kesempatan yang tersedia demi menjaga kepentingan nasional ke depan," tegas Haryo.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kuncian Negosiasi Dagang RI-AS Bikin Trump Sumringah
