Mendag Ungkap Ada Negara Tunda Perjanjian Dagang dengan RI, Kenapa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan ada negara akhirnya menunda penyelesaian perjanjian dagang dengan Indonesia. Ia menyebut hal ini terjadi karena negara tersebut khawatir mengalami defisit perdagangan.
"Kami mempunyai pengalaman yang unik ketika akan mengadakan perjanjian dagang dengan negara lain. Kami sudah sepakat bahwa atau sudah ada joint commitment untuk menyelesaikan perjanjian itu, tetapi diundur-undur. Kenapa? Karena negara tersebut defisit dengan Indonesia," ujar Budi dalam perayaan lima tahun Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) di Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Ia menuturkan, negara-negara tersebut khawatir neraca dagangnya makin timpang jika perjanjian tetap dilanjutkan.
"Kemudian mereka bilang, 'Pak jangan diteruskan dulu, kalau nanti kita teruskan perjanjian kami semakin defisit dengan Indonesia'. Saya sampaikan, kami itu bikin perjanjian dagang tidak untuk membuat Anda defisit," katanya.
Menurutnya, tujuan perjanjian dagang adalah untuk membuka akses pasar secara timbal balik, bukan untuk merugikan salah satu pihak.
"Kalau tujuannya untuk membuat Anda defisit, itu namanya peran dagang. Tapi kita perjanjian dagang. Sehingga bagaimana justru dengan begitu Anda mempunyai akses pasar di Indonesia, demikian juga sebaliknya," jelas Budi.
Namun, saat ditanya oleh awak media, Budi enggan mengungkap identitas negara dimaksud karena dikhawatirkan hal tersebut dapat semakin menghambat upaya kerja sama yang tengah dibangun dengan Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Budi juga menyampaikan bahwa Indonesia dan Australia sepakat melakukan review implementasi IA-CEPA pada tahun depan.
"Kami dengan pemerintah Australia juga sepakat, bagaimana dalam rangka optimalisasi implementasi Indonesia-Australia, maka pemerintah Indonesia dan Australia sepakat untuk melakukan review tahun depan," ujarnya.
Namun, ia juga menyoroti rendahnya pemanfaatan perjanjian dagang oleh pelaku usaha Indonesia. Dari 19 perjanjian dagang yang dimiliki RI, hanya sekitar 80% yang memanfaatkan fasilitas Surat Keterangan Asal (SKA) preferensi.
"Kalau kita ekspor ke Australia, kemudian kita tidak menggunakan SKA preferensi, maka buyer Australia wajib mengingatkan eksportir kita. Demikian juga sebaliknya," kata Budi.
Ia menegaskan bahwa optimalisasi manfaat perjanjian dagang hanya dapat tercapai jika seluruh pihak terlibat aktif dan saling mengingatkan.
(tfa/wur)