Produksi Bioetanol RI Ditarget 1,2 Juta Ton per Tahun di 2030
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) berkomitmen mendukung pelaksanaan program bioetanol untuk bahan bakar kendaraan sebagai solusi dekarbonisasi di sektor transportasi. Mengingat, sektor transportasi merupakan salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca (GRK).
Corporate Secretary Pertamina NRE, Dicky Septriadi menyatakan bahwa kesuksesan penerapan program biodiesel di Indonesia dapat menjadi contoh bagi program bioetanol. Program ini tidak hanya mampu menurunkan emisi GRK, tetapi juga berpotensi mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM).
"Program bioetanol selaras dengan Asta Cita pemerintah, khususnya terkait swasembada pangan dan energi, serta menciptakan lingkungan yang berkelanjutan," ujar dia dalam keterangan tertulis, Jumat (6/12/2024).
Dicky membeberkan bahwa dalam peta jalan bioetanol yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023, pemerintah menargetkan penyediaan bioetanol nasional mencapai 1,2 juta kiloliter (KL) per tahun pada 2030.
Sementara, kapasitas produksi bioetanol fuel grade saat ini baru mencapai 63 ribu KL per tahun. Dengan proyeksi penggunaan BBM bercampur bioetanol yang terus meningkat, terdapat gap antara supply dan demand yang perlu segera diatasi.
"Saat ini, bioetanol sebesar 5% telah menjadi campuran Pertamax Green 95 yang diluncurkan tahun lalu oleh PT Pertamina Patra Niaga dan telah tersedia di 101 SPBU di Jabodetabek dan Surabaya," kata dia.
Adapun, pemanfaatan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan juga akan mendorong optimalisasi sumber energi domestik, di mana Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Tidak saja dari molase yang merupakan produk sampingan gula, bioetanol dapat berasal dari singkong, jagung, dan sorgum.
Namun terlepas dari potensi tersebut, Dicky mengungkapkan terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan bioetanol. Salah satunya adalah persaingan pemanfaatan bioetanol untuk pangan, industri, dan bahan bakar. Terlebih saat ini bahan baku bioetanol yakni molase, merupakan produk komoditas yang menjadi langganan untuk diekspor.
Menurut dia, penawaran dari industri pangan dan industri lain untuk molase, ditambah potensi ekspor yang menarik di kancah internasional, menjadikan ketersediaan pasokan bahan baku utama di dalam negeri menjadi lebih terbatas, sehingga, harga bioetanol menjadi lebih tinggi dibandingkan harga bahan bakar minyak (BBM) dikarenakan kompetisi bahan baku. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada harga jual ke konsumen apabila tidak ada insentif.
Tantangan lainnya adalah perlunya penyediaan lahan cukup luas untuk menanam tanaman bahan baku bioetanol, tidak hanya tebu, tapi juga singkong, jagung, dan sorgum. Secara keseluruhan, diperlukan regulasi yang holistik dari hulu ke hilir untuk pengembangan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan, termasuk regulasi menjadikan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan sebagai mandat, seperti halnya yang diimplementasikan terhadap program biodiesel.
"Pertamina sebagai BUMN energi yang memiliki peran strategis dalam mendukung swasembada energi nasional telah memiliki peta jalan dan inisiatif pengembangan bioetanol," kata dia.
Saat ini Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) bekerja sama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk membangun pabrik bioetanol berbasis molase di Glenmore, Banyuwangi, dengan kapasitas 30 ribu KL per tahun. Dalam peta jalannya, Pertamina NRE memiliki rencana-rencana pengembangan bioetanol baik secara organik maupun anorganik melalui diversifikasi beragam sumber bahan baku.
(pgr/pgr)