
Perang Putin-Xi Jinping 'Habisi' Dolar AS Dimulai, Bawa RI

Sistem Pembayaran Baru sampai 'Politik' Gandum
Melansir The Economist, Rusia memang tengah berusaha meyakinkan negara-negara BRICS untuk membangun platform alternatif guna pembayaran internasional yang "kebal" terhadap sanksi Barat. Dalam pernyataan bulan lalu, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menekankan pentingnya platform pembayaran baru karena "semua orang memahami bahwa siapa pun dapat menghadapi sanksi dari kami atau sanksi Barat".
Secara rinci, sistem yang disebut Rusia "Jembatan BRICS" ini akan dibangun dalam waktu satu tahun . Ini akan memungkinkan negara-negara untuk melakukan penyelesaian lintas batas menggunakan platform digital yang dijalankan oleh bank sentral mereka.
Sistem ini mungkin meminjam konsep dari proyek lain yang disebut mBridge, yang dijalankan Bank for International Settlements (BIS), lembaga keuangan internasional yang dimiliki oleh bank-bank sentral dunia untuk kerjasama moneter dan keuangan internasional serta berfungsi sebagai bank bagi bank sentral. Rencana BRICS dapat memberikan transaksi yang lebih murah dan lebih cepat dengan sasaran negara berkembang.
Mengutip Reuters, konsep sistem pembayaran baru ini sebenarnya terlihat dalam sebuah dokumen yang disiapkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Sentral Rusia (Central Bank of the Russian Federation), yang dibagikan kepada wartawan menjelang KTT BRICS. Inti usulan Rusia adalah proposal untuk sistem pembayaran baru berdasarkan jaringan bank komersial yang saling terhubung melalui bank sentral BRICS.
Sistem ini akan menggunakan teknologi blockchain untuk menyimpan dan mentransfer token digital yang didukung oleh mata uang nasional. Hal ini, pada gilirannya, akan memungkinkan mata uang tersebut dipertukarkan dengan mudah dan aman, melewati kebutuhan akan transaksi dolar.
"Rusia melihatnya sebagai cara untuk menyelesaikan masalah yang semakin meningkat dalam menyelesaikan pembayaran perdagangan, bahkan dengan negara-negara sahabat seperti China, di mana bank-bank lokal khawatir mereka dapat terkena sanksi sekunder oleh AS," tambah laman itu.
Sebenarnya, selain inisiatif baru untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi, Rusia juga mengusulkan untuk menciptakan platform "BRICS Clear". Ini untuk menyelesaikan perdagangan sekuritas.
Dokumen yang dilihat Reuters, menyerukan komunikasi yang lebih baik antara lembaga pemeringkat kredit di negara-negara anggota dan metodologi pemeringkatan bersama. Meski, tidak mengusulkan lembaga pemeringkat BRICS bersama.
"Ini merupakan sebuah ide yang telah dibahas kelompok tersebut sebelumnya. Rusia, eksportir gandum terbesar di dunia," ujar laman itu.
Rusia juga mendesak pembentukan bursa perdagangan gandum BRICS, yang didukung oleh lembaga penetapan harga. Hal ini untuk menciptakan alternatif bagi bursa Barat tempat harga internasional untuk komoditas pertanian ditetapkan.
RI Bakal Bergabung?
Ke depan BRICS diyakini bakal ekspansi membujuk negara-negara berkembang bergabung. Tak terkecuali RI dan negara tetangga.
Di 11 Juni lalu, ketertarikan bergabung diungkap Thailand. Setelahnya keinginan bergabung juga disebutkan Malaysia beberapa hari kemudian, setelah pertemuan antara masing-masing PM digelar.
Yang paling mengejutkan adalah Turki. Sekutu A di NATO itu juga secara resmi meminta untuk bergabung dengan BRICS pada bulan September lalu.
"Begitu banyak negara yang bersedia bergabung dengan Rusia ... menegaskan tren yang diikuti oleh semakin banyak negara di dunia bahwa mereka (negara-negara dunia) tidak ingin harus memilih di antara mitra," kata peneliti tamu di Brookings Institute, Tara Varma.
Khusus Indonesia sendiri, rumor akan bergabung dengan BRICS sempat beredar kencang di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keputusan bergabung atau tidak kini berada di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Mengutip Wakil Menlu RI Arif Havas Oegroseno, Menteri Luar Negeri Sugiono akan menghadiri konferensi BRICS yang kini digelar. Prabowo seyogianya diundang namun berhalangan karena transisi pemerintahan baru.
[Gambas:Video CNBC]