Internasional

Perang Putin-Xi Jinping 'Habisi' Dolar AS Dimulai, Bawa RI

Thea Fathanah Arbar & sef, CNBC Indonesia
23 October 2024 06:05
Perdana Menteri India Narendra Modi (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin bersiap untuk berjabat tangan sebelum pembicaraan mereka selama KTT BRICS di Ufa, Rusia.
Foto: Perdana Menteri India Narendra Modi (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin bersiap untuk berjabat tangan sebelum pembicaraan mereka selama KTT BRICS di Ufa, Rusia. (AP Photo/Ivan Sekretarev/File Foto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Presiden Rusia Vladimir Putin dan sejumlah negara untuk "menghabisi" dolar AS sepertinya segera dimulai. Hal ini setidaknya terlihat dari terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2024 yang kini dilakukan di kota Kazan, Rusia.

Dimulai Selasa kemarin, beberapa sekutu utama Rusia dilaporkan telah berkumpul. Pertemuan ini diharapkan Kremlin akan menunjukkan ke Barat, bahwa upayanya selama ini mengisolasi Rusia karena perangnya di Ukraina telah gagal.

Setidaknya 20 pemimpin dunia telah hadir di KTT itu. Mulai dari negara anggota seperti Presiden China Xi Jinping, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa.

Ada pula Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Mohamed bin Zayed Al Nahyan, Presiden Iran Masoud Pezeshkian, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, dan PM Ethiopia Abiy Ahmed. Lalu negara pemerhati mulai dari dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan PM Vietnam Pham Minh Chinh serta pemimpin lembaga dunia PBB, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres.

Sejak Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada Februari 2022, negara itu dan pemimpinnya menjadi terisolasi. Sebulan setelah perang dimulai, berbondong-bondong negara seperti Kanada, Uni Eropa (UE), Jepang, Selandia Baru, Taiwan, Inggris Raya, dan AS mengumumkan serangkaian sanksi terhadap Rusia.

Sanksi menyasar bank-bank, kilang minyak, dan ekspor militer. Sanksi bahkan terus diberikan hingga kini.

Surat perintah penangkapan ke Putin juga muncul dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Hal itu membuat Putin tidak dapat bepergian ke negara-negara yang menjadi penanda tangan Statuta Roma, perjanjian PBB yang membentuk pengadilan tersebut, tanpa risiko penangkapan.

Pada tahun 2023, ia melewatkan pertemuan puncak BRICS di Afsel, yang merupakan pihak dalam perjanjian tersebut. Muncul tekanan pada Pretoria untuk menahan pemimpin Rusia itu jika ia hadir.

"Pemimpin Kremlin ingin menggunakan forum tersebut untuk menantang Barat dan memajukan idenya tentang dunia multipolar sebagai benteng melawan hegemoni AS," muat laman Prancis AFP, Rabu (23/10/2024).

Perlu diketahui BRICS sendiri memiliki anggota tetap Brazil, Russia, India, China dan Afrika Selatan sejak 2009. Di 2023, anggotanya bertambah dengan masuknya Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan UEA.

Kelompok BRICS yang diperluas sekarang mewakili sekitar 45% populasi dunia dan 25% produk domestik bruto (PDB) global. Dalam ramalan IMF, BRICS bisa mengalahkan G20.

Kurangi Dolar & Hempaskan SWIFT

Mengutip Al-Jazeera, pertemuan yang akan dilakukan hingga Kamis itu intinya adalah merujuk pada kekecewaan sejumlah negara atas lembaga tata kelola global yang dipimpin Barat, terutama dalam hal ekonomi.

Sanksi yang dijatuhkan ke Rusia setelah serangan ke Ukraina di 2022, telah membuat banyak negara di dunia selatan khawatir bahwa Amerika Serikat (AS) dan sekutu dapat mempersenjatai alat keuangan global untuk melawan mereka.

"Setelah perang di Gaza, Rusia dan China telah memanfaatkan sentimen anti-Barat ini dengan lebih efektif, memanfaatkan rasa frustrasi atas standar ganda Barat serta penggunaan sanksi dan paksaan ekonomi oleh Barat," kata seorang pakar kebijakan luar negeri Turki, mengatakan dalam komentarnya kepada Brookings Institute, sebuah lembaga pemikir di Washington, DC, Asli Aydintasbas.

"Ini tidak berarti bahwa kekuatan menengah ingin menukar dominasi AS dengan China, tetapi itu berarti mereka terbuka untuk bersekutu dengan Rusia dan Tiongkok demi dunia yang lebih terfragmentasi dan otonom," tambahnya.

Untuk tujuan tersebut mitra BRICS ingin mengurangi ketergantungan mereka pada dolar Amerika Serikat dan sistem SWIFT, jaringan pengiriman pesan internasional untuk transaksi keuangan yang tidak lagi digunakan oleh bank-bank Rusia pada tahun 2022.

Sejak 2023, sebenarnya muncul usulan mata uang BRICS untuk perdagangan. Meski begitu, kini trennya mengarah ke penggunaan mata uang nasional masing-masing negara untuk perdagangan bilateral guna melindungi mereka dari fluktuasi mata uang dan mengurangi ketergantungan mereka pada dolar.

"China sekarang memiliki alternatif untuk sistem pembayaran SWIFT, meskipun penggunaannya terbatas, dan negara-negara seperti Turki dan Brasil semakin merestrukturisasi cadangan dolar mereka menjadi emas," kata Aydintasbas.

"Penukaran mata uang untuk transaksi energi juga merupakan ide yang populer - semuanya menunjukkan keinginan untuk kemandirian finansial yang lebih besar dari Barat," tambahnya.


Halaman 2>>> Sistem Pembayaran Baru sampai 'Politik' Gandum & RI

Sistem Pembayaran Baru sampai 'Politik' Gandum


Melansir The Economist, Rusia memang tengah berusaha meyakinkan negara-negara BRICS untuk membangun platform alternatif guna pembayaran internasional yang "kebal" terhadap sanksi Barat. Dalam pernyataan bulan lalu, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menekankan pentingnya platform pembayaran baru karena "semua orang memahami bahwa siapa pun dapat menghadapi sanksi dari kami atau sanksi Barat".

Secara rinci, sistem yang disebut Rusia "Jembatan BRICS" ini akan dibangun dalam waktu satu tahun . Ini akan memungkinkan negara-negara untuk melakukan penyelesaian lintas batas menggunakan platform digital yang dijalankan oleh bank sentral mereka.

Sistem ini mungkin meminjam konsep dari proyek lain yang disebut mBridge, yang dijalankan Bank for International Settlements (BIS), lembaga keuangan internasional yang dimiliki oleh bank-bank sentral dunia untuk kerjasama moneter dan keuangan internasional serta berfungsi sebagai bank bagi bank sentral. Rencana BRICS dapat memberikan transaksi yang lebih murah dan lebih cepat dengan sasaran negara berkembang.

Mengutip Reuters, konsep sistem pembayaran baru ini sebenarnya terlihat dalam sebuah dokumen yang disiapkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Sentral Rusia (Central Bank of the Russian Federation), yang dibagikan kepada wartawan menjelang KTT BRICS. Inti usulan Rusia adalah proposal untuk sistem pembayaran baru berdasarkan jaringan bank komersial yang saling terhubung melalui bank sentral BRICS.

Sistem ini akan menggunakan teknologi blockchain untuk menyimpan dan mentransfer token digital yang didukung oleh mata uang nasional. Hal ini, pada gilirannya, akan memungkinkan mata uang tersebut dipertukarkan dengan mudah dan aman, melewati kebutuhan akan transaksi dolar.

"Rusia melihatnya sebagai cara untuk menyelesaikan masalah yang semakin meningkat dalam menyelesaikan pembayaran perdagangan, bahkan dengan negara-negara sahabat seperti China, di mana bank-bank lokal khawatir mereka dapat terkena sanksi sekunder oleh AS," tambah laman itu.

Sebenarnya, selain inisiatif baru untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi, Rusia juga mengusulkan untuk menciptakan platform "BRICS Clear". Ini untuk menyelesaikan perdagangan sekuritas.

Dokumen yang dilihat Reuters, menyerukan komunikasi yang lebih baik antara lembaga pemeringkat kredit di negara-negara anggota dan metodologi pemeringkatan bersama. Meski, tidak mengusulkan lembaga pemeringkat BRICS bersama.

"Ini merupakan sebuah ide yang telah dibahas kelompok tersebut sebelumnya. Rusia, eksportir gandum terbesar di dunia," ujar laman itu.

Rusia juga mendesak pembentukan bursa perdagangan gandum BRICS, yang didukung oleh lembaga penetapan harga. Hal ini untuk menciptakan alternatif bagi bursa Barat tempat harga internasional untuk komoditas pertanian ditetapkan.

RI Bakal Bergabung?

Ke depan BRICS diyakini bakal ekspansi membujuk negara-negara berkembang bergabung. Tak terkecuali RI dan negara tetangga.

Di 11 Juni lalu, ketertarikan bergabung diungkap Thailand. Setelahnya keinginan bergabung juga disebutkan Malaysia beberapa hari kemudian, setelah pertemuan antara masing-masing PM digelar.

Yang paling mengejutkan adalah Turki. Sekutu A di NATO itu juga secara resmi meminta untuk bergabung dengan BRICS pada bulan September lalu.

"Begitu banyak negara yang bersedia bergabung dengan Rusia ... menegaskan tren yang diikuti oleh semakin banyak negara di dunia bahwa mereka (negara-negara dunia) tidak ingin harus memilih di antara mitra," kata peneliti tamu di Brookings Institute, Tara Varma.

Khusus Indonesia sendiri, rumor akan bergabung dengan BRICS sempat beredar kencang di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keputusan bergabung atau tidak kini berada di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Mengutip Wakil Menlu RI Arif Havas Oegroseno, Menteri Luar Negeri Sugiono akan menghadiri konferensi BRICS yang kini digelar. Prabowo seyogianya diundang namun berhalangan karena transisi pemerintahan baru.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular