Hari Pangan Sedunia, Petani Teriak Minta Hapus UU Ciptaker, Ada Apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak pemerintah menghapus Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Omnibus Law ini disebut sebagai salah satu faktor yang menghambat upaya RI mencapai kedaulatan pangan.
Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan, UU Cipta Kerja mengubah substansi dari UU Pangan di Indonesia.
"Akibatnya, impor menjadi semakin gampang dilakukan dan jelas merugikan petani kita. Sebagai contoh dalam komoditas beras, pada tahun 2023 kita mencatatkan angka impor beras terbesar dalam 5 tahun terakhir. Padahal seharusnya kita berfokus pada perbaikan produksi dalam negeri, namun UU Cipta Kerja justru mengubah fokus tersebut sehingga impor menjadi opsi yang dipilih pemerintah," katanya, Kamis (16/10/2024).
"Dalam rangka 'Hari Pangan Sedunia' yang diperingati pada 16 Oktober setiap tahunnya, SPI kembali mendorong agar Kedaulatan Pangan menjadi dasar kebijakan pangan. Tidak hanya di tingkat global, melainkan juga di nasional," tambah Henry.
Henry menuturkan, situasi pangan global tersebut menunjukkan ada ketidakberesan dalam pengelolaan pangan saat ini. Dia mengutip Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) "The State of Food Security and Nutritionin the World - SOFI" yang dirilis pada Juli 2024 lalu yang menggambarkan masalah kelaparan belum teratasi dan semakin mengancam.
Disebutkan, setidaknya ada 733 juta orang atau setara 9,2 persen penduduk dunia berada dalam keadaan lapar.
Indonesia sendiri, kata Henry, mengacu pada Global Hunger Index (GHI) 2024 memang ada di peringkat 'moderat'. Hanya saja, Indonesia tidak beranjak dari status tersebut sejak tahun 2016 silam.
"Hal ini juga tercermin dari berbagai permasalahan pangan yang masih mendera Indonesia, seperti kurang gizi hingga tengkes (stunting)," katanya.
"Kelemahan terbesar dari ketahanan pangan adalah ketergantungan dan subordinasi yang terjadi pada setiap aspek produksi pangan. Perlu perubahan ke arah kedaulatan pangan yang menjamin hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional,' tukasnya.
Dia pun membeberkan 6 persoalan utama yang menyebabkan Indonesia sampai saat ini masih berada di posisi yang sama. Menurutnya, keenam hal itu menyebabkan Indonesia semakin jauh dari kedaulatan pangan.
Pertama, kata Hendry, menyangkut reforma agraria sebagai perlindungan dan pemenuhan hak atas tanah bagi petani di Indonesia.
"Bagi petani, jaminan hak atas tanah adalah yang utama. Kondisi Indonesia saat ini kita melihat bagaimana jumlah petani gurem meningkat. Data dari Sensus Pertanian 2024 menyebut jumlah rumah tangga usaha petani gurem pada tahun 2023 berjumlah 16,8 juta, meningkat dari sebelumnya 14,2 juta di tahun 2013. Bagaimana kita mau memastikan produksi cukup, kalau ternyata petani hak petani atas tanah dan luasan yang layak masih belum terpenuhi?" cetusnya.
Kedua, lanjutnya, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"UU Cipta Kerja menjadi sumber dari lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada petani dan produsen pangan skala kecil lainnya. Hal ini bisa kita lihat dari Konversi lahan pangan ke non-pangan atas nama Pembangunan hingga Proyek Strategis Nasional (PSN); pembentukan Bank Tanah yang memperparah konflik agraria; sampai Pelepasan Kawasan Hutan untuk proyek Food Estate yang sampai saat ini tidak jelas capaiannya," ujarnya.
Hal ketiga adalah terkait ketergantungan akan impor pangan yang semakin menguat di Indonesia.
"Hal ini dipengaruhi oleh tidak seriusnya pembenahan sektor pertanian Indonesia," katanya.
"Ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor semakin kentara beberapa tahun terakhir. Data BPS mencatat baghwa pangan strategis seperti beras, kedelai, jagung, gula, daging sapi, bawang putih, bahkan garam, itu Indonesia impor dari negara lain. Bahkan untuk kedelai, itu 90% kebutuhan nasional kita dipenuhi dari impor," tambahnya.
Keempat, lanjut Henry, menyangkut ketidakstabilan harga pangan di Indonesia.
"Masih lemahnya mekanisme pengaturan harga pangan oleh pemerintah, mengakibatkan harga pangan strategis seperti minyak goreng sawit, dan beras mengalami fluktuasi harga yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir," sebutnya.
Persoalan kelima yang disebut Henry adalah terkait privatisasi, liberalisasi, dan korporatisasi pangan. kebijakan pemerintah tentang food estate sebagai upaya meningkatkan produksi pangan di Indonesia dilihat sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap korporasi.
"Berbagai proyek food estate di wilayah-wilayah Indonesia terbukti belum berhasil mengatasi permasalahan pangan yang ada, dan sebaliknya justru menimbulkan masalah baru: konflik dengan petani maupun masyarakat adat di Lokasi proyek hingga isu lingkungan," ujarnya.
Dan keenam, Henry menyebut transformasi pertanian ke agroekologi di Indonesia masih belum dipandang serius oleh pemerintah Indonesia.
"Diperlukan suatu transformasi model pertanian, dari pertanian yang bergantung dari pupuk kimia dan pestisida atau dinamakan pertanian konvensional sekarang ini, ke pertanian yang agroekologis. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berkomitmen dalam hal pertanian agroekologis, khususnya untuk transisi dari penggunaan pupuk kimia ke pupuk organik. Namun lagi-lagi, karena lemahnya komitmen politik, hal ini seakan menguap dan tidak ada kelanjutannya," kata Henry.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia, Henry lalu mengusulkan 6 langkah yang menurutnya strategis memperkuat sektor pangan RI, yaitu:
1. menjalankan Reforma Agraria dan penyelesaian konflik agraria berdasarkan konstitusi UUD 1945, UUPA 1960, dan TAP MPR-RI No. IX tahun 2001 sebagai prasyarat kedaulatan pangan
2. menghapuskan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan peraturan/undang-undang lainnya yang merugikan petani, seperti melegalkan perampasan tanah, mempermudah impor pangan, food estate, mengalihfungsikan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan memperkuat korporasi pangan sebagai hajat hidup rakyat banyak
3. menolak impor pangan dan mendorong agar produksi pangan nasional mengutamakan keluarga petani dalam negeri, bukan dari Food Estate atau lumbung pangan terpusat yang dikelola korporasi
4. menyusun kebijakan jangka panjang pertanian Indonesia yang didasarkan pada Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan
5. menguatkan komitmen untuk kembali dari sistem pertanian yang bercorak revolusi hijau menjadi agroekologi secara bertahap dan terukur.
6. memperkuat kebijakan pertanian nasional dengan mengacu pada norma hukum internasional, yakni hak asasi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan atau biasa disebut UNDROP.
(dce/dce)