Dapat Bagi Hasil Migas Lebih Besar, Investor Happy Tapi..
Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur TIS Petroleum Tumbur Parlindungan menilai persoalan utama yang membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia bukan semata-mata soal skema bagi hasil migas.
Menurut dia, perbaikan dalam skema kontrak bagi hasil migas gross split yang baru memang mengurangi ketidakpastian fiskal, yang sebelumnya menjadi kekhawatiran para investor migas. Namun, faktor utama yang membuat investor ragu bukan hanya masalah fiskal, melainkan ketidakpatuhan terhadap kontrak yang sudah disepakati.
"Yang menjadi basic masalah dari investor kembali ke Indonesia itu sebetulnya di perjanjian tersebut. Karena perjanjian antara investor dengan negara Indonesia, banyak perjanjian dalam perjanjian tersebut negara Indonesia tidak mematuhinya. Ini yang jadi masalah," ujar Tumbur dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (8/10/2024).
Tumbur membeberkan selama 10 hingga 15 tahun terakhir banyak kontrak yang sejatinya tidak dihormati oleh pemerintah Indonesia. Hal ini lantas menyebabkan investor migas kehilangan kepercayaan untuk menanamkan investasinya di Indonesia.
Ia menilai kondisi ini lebih krusial daripada penawaran fiskal yang sering kali hanya dianggap sebagai "gimmick" untuk menarik investor.
"Tapi yang paling mendasar contract sanctity dari yang sudah ditandatangani itu masih dilanggar juga dengan negara Indonesia atau tidak. Itu yang ditunggu sebetulnya dari para investor," ujarnya.
"Gross split yang sebelumnya kan terlalu banyak parameternya. Ini kan parameternya dikurangi dan lebih pasti untuk para investor. Tapi nanti begitu ada perjanjiannya, apakah negara Indonesia akan menghormatinya atau tidak. Karena PSC-PSC sebelumnya banyak yang tidak dihormati oleh pemerintah Indonesia," tambahnya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi menerbitkan regulasi baru untuk menarik investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, menggantikan regulasi sebelumnya, yaitu Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan bahwa perubahan aturan ini bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi para kontraktor migas, terutama yang menggarap lapangan-lapangan dengan tantangan teknis yang cukup tinggi.
"Intinya adalah Untuk memberikan fairness. Untuk lapangan yang sulit. Setiap ada usaha, upaya dihargai dengan Split itu tetap fungsinya adalah yang fair," ujarnya ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (4/10/2024).
Terpisah, Direktur Pembinaan Hulu Minyak dan Gas Bumi Ariana Soemanto menjelaskan aturan ini hadir sebagai respons atas kebutuhan kontraktor untuk mendapatkan kepastian bagi hasil yang lebih kompetitif, yang kini dapat mencapai 75-95%.
Adapun, dalam kontrak gross split sebelumnya, bagi hasil kontraktor bisa sangat variatif, bahkan dalam beberapa kasus mencapai nol persen. "Kepastian 75-95% bagi hasil punya kontraktor. Kalau yang dulu bisa rendah sekali, bahkan bisa sampai 0%, itu kita koreksi," ujar Ariana, Selasa (1/10/2024).
Selain memberikan kepastian bagi hasil yang lebih tinggi, regulasi baru ini juga dirancang untuk menarik investasi di Wilayah Kerja (WK) Migas Non Konvensional, dengan kontraktor berpotensi menerima bagi hasil sebesar 93-95% di awal masa kontrak, seperti yang diterapkan di WK GMB Tanjung Enim dan MNK Rokan.
Dalam aturan baru ini, parameter-parameter yang menentukan besaran angka bagi hasil untuk kontraktor disederhanakan dari 13 parameter menjadi hanya 5 parameter, agar lebih implementatif perhitungannya dan menarik di lapangan.
(pgr/pgr)