Tanda-tanda Kejatuhan Kelas Menengah RI Sudah Tercium 30 Tahun Lalu
Jakarta, CNBC Indonesia-Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin menyebut tanda-tanda penurunan kelas menengah di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dia menduga tanda-tanda penurunan itu bahkan sudah terjadi sekitar 1995.
Bustanul mengatakan penurunan kondisi kelas menengah itu bisa dilihat dari kinerja transformasi ekonomi di Indonesia. Transformasi ekonomi adalah pergeseran dari ekonomi berbasis pertanian menjadi industri manufaktur dan jasa.
"Transformasi ekonomi adalah pergeseran atau perpindahan dari ekonomi berbasis pertanian menjadi industri manufaktur dan jasa... sektor manufakturnya saya tambah dengan tambang supaya lebih besar," kata Bustanul dalam diskusi Indef berjudul Kelas Menengah Turun Kelas, Senin, (9/9/2024).
Bustanul menilai gejala deindustrialisasi pada ekonomi Indonesia sebenarnya sudah bisa terlihat sejak 1995. Menurut dia, hal tersebut bisa terlihat dari kontribusi manufaktur terhadap perekonomian secara keseluruhan yang terus menyusut.
Bustanul mengatakan kontribusi sektor manufaktur pada 1995 masih sebesar 41,8% dari PDB Indonesia. Namun, angka itu turun menjadi 38,5% pada 2005. Pada 2023, kontribusi manufaktur pada PDB Indonesia bahkan lebih kecil lagi yakni 28,9%.
"Jadi cikal bakal deindustrialisasi sudah terlihat dari share PDB, turun terus. Secara teori ini bukan proses pembangunan ekonomi yang baik," kata dia.
Bustanul mengatakan berkurangnya kontribusi manufaktur pada perekonomian itu pada akhirnya juga menggeser struktur tenaga kerja di Indonesia. Jumlah pekerja yang bekerja di sektor manufaktur cenderung stagnan. Dia mengatakan tidak adanya perkembangan pada sektor pekerjaan ini pada akhirnya berkorelasi dengan memburuknya kondisi kelas menengah Indonesia.
"Jadi saya ingin sampaikan cikal-bakal penurunan kelas menengah itu sudah terlihat dari sana," kata dia.
Temuan serupa juga pernah disampaikan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI). LPEM UI menyebut banyaknya kelas menengah yang 'jatuh miskin' disebabkan karena kesulitan mencari pekerjaan yang layak atau masih mengandalkan pekerjaan informal sehingga daya beli mereka rentan dan kerap tergerus inflasi.
Peneliti LPEM UI Teuku Riefky mencatat kelas menengah berkontribusi lebih dari 75% angkatan kerja di Indonesia. Namun, sebagian besar calon kelas menengah atau aspire middle class (AMC) dan kelas menengah bekerja di sektor dengan produktivitas rendah, seperti pertanian dan jasa bernilai tambah rendah.
Riefky mengatakan pada 2014 jumlah calon kelas menengah dan kelas menengah yang bekerja di dua sektor itu porsinya sebesar 72,6%. Pada 2023 proporsinya tak banyak berubah di angka 72,3%.
"Ini mengindikasikan tidak adanya perbaikan signifikan dari mobilitas tenaga kerja menuju sektor yang lebih produktif," kata Riefky.
(rsa/mij)