
ASEAN Masih Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Dunia, Ini Kuncinya

Jakarta, CNBC Indonesia - ASEAN merupakan kawasan regional yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Terbukti, berdasarkan laporan International Monetary Fund (IMF), nilai produk domestik bruto (PDB) ASEAN mencapai US$ 3,9 triliun pada 2022 atau sekitar 3,6% dari PDB global. Indonesia pun memiliki kontribusi PDB mencapai US$ 1.390 miliar pada periode tersebut.
Salah satu sektor yang menopang pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah manufaktur. Berdasarkan data S&P Global, Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur ASEAN berada di fase ekspansi atau di atas level 50 sejak Oktober 2021.
Pada Juni 2024, PMI Manufaktur ASEAN berada di level 51,7. Tren positif ini cukup dipengaruhi oleh konsumsi domestik di negara-negara ASEAN yang cukup tinggi. Hal ini didukung juga populasi penduduk yang besar di ASEAN.
Sejalan dengan itu, PMI Manufaktur Indonesia berhasil mencatatkan rekor di level 54,2 pada Maret 2024. Indeks ini adalah yang tertinggi sejak Oktober 2021 atau dalam 29 bulan terakhir. Hal ini mencerminkan kinerja industri manufaktur Indonesia semakin ekspansif.
Ini terbukti dari gencarnya hilirisasi industri nasional terutama di sektor nikel. Sebagaimana diketahui, nikel merupakan bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Alhasil, Indonesia berpeluang mendapatkan nilai tambahan lebih dari produk olahan nikel.
Indonesia masih mampu bersaing dan berperan besar di ASEAN terlepas dari serangkaian tantangan dan ekonomi makro pada 2023. Pertumbuhan ekonomi nasional pun tetap stabil lebih dari 5% yang dibantu oleh pertumbuhan di sektor konstruksi dan manufaktur. Selain itu, kondisi bisnis di Indonesia juga memperlihatkan prospek menjanjikan.
Hal ini pun menunjukkan ekonomi ASEAN mampu bertahan di tengah ketidakpastian global, dan berpotensi menjadi pusat pertumbuhan. Kawasan ini juga dinilai dapat berlanjut dan meningkat setiap tahunnya jika didukung oleh kegiatan perdagangan, konsumsi, maupun investasi yang terbuka dengan negara lain. Sebagai pengingat, ASEAN berhasil menerima investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) senilai US$ 226 miliar pada tahun lalu.
Tidak heran jika Bank Dunia memprediksi Indonesia masih bakal menempati posisi 5 besar negara ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di 2024 sebesar 4,9%. Adapun negara-negara lain seperti Malaysia diprediksi tumbuh, 4,3%, Vietnam 5,5%, Filipina 5,8%, dan Kamboja 5,8%.
Hal tersebut juga didukung oleh laporan UOB Business Outlook Study 2024 versi regional, di mana ada sebanyak 92% responden yang disurvei berharap adanya peningkatan kinerja bisnis pada tahun 2024. Untuk mendorong pertumbuhan, para pelaku usaha memprioritaskan digitalisasi dan mencari kemitraan bisnis baru.
Di sisi lain, inflasi yang tinggi telah memengaruhi laba bersih sembilan dari 10 industri yang menyebabkan peningkatan biaya operasional, biaya material, dan tagihan utilitas.
Namun, pelaku bisnis Indonesia masih tetap optimis. Terbukti, hampir tiga dari lima responden survei tersebut menyatakan pandangan 'sangat positif' terhadap lingkungan bisnis Tanah Air saat ini.
Hampir setengah responden berharap lingkungan bisnis membaik pada tahun 2025, angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan proyeksi pertumbuhan pendapatan yang tetap kuat pasca pandemi, 9 dari 10 responden mengantisipasi pertumbuhan pendapatan tahunan.
Untuk mewujudkannya, para pelaku usaha kini berfokus pada perluasan produk dan layanan, kolaborasi dengan badan industri, dan upaya digitalisasi.
Didorong oleh peningkatan profitabilitas dan pertumbuhan, lebih dari sembilan dari 10 sektor bisnis Indonesia ingin berekspansi ke luar negeri dalam tiga tahun ke depan. Perusahaan di sektor industri manufaktur dan engineering serta perusahaan skala menengah menunjukkan minat yang lebih kuat untuk berekspansi ke luar negeri.
Pasar utama yang dibidik perusahaan Indonesia dalam melakukan ekspansi, antara lain ASEAN meliputi Malaysia, Singapura, dan Thailand, serta Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang.
Indonesia juga mengandalkan sektor e-commerce yang pertumbuhan pasarnya cukup signifikan. Nilai pasar e-commerce Indonesia diproyeksikan tumbuh dari US$ 52,9 miliar pada tahun 2023 menjadi US$ 86,8 miliar pada tahun 2028.
Untuk memfasilitasi upaya ekspansi, banyak pelaku usaha yang menggunakan platform perdagangan digital lintas batas yang menawarkan akses ke pasar internasional dan memungkinkan transaksi yang lancar.
Namun, dua dari lima responden mengaku menghadapi tantangan seperti menemukan mitra yang cocok, kesulitan mendapatkan pembiayaan, dan keterbatasan sumber daya komunikasi/pemasaran internal.
Peluang para pelaku usaha untuk terhubung dengan calon mitra, rekan industri, dan perusahaan yang terkait dengan pemerintah akan membantu mendorong upaya ekspansi mereka.
Selain itu, manajemen rantai pasok (supply chain) dianggap penting oleh lebih dari 9 dari 10 responden, terutama bagi mereka yang bergerak di bidang manufaktur dan teknik, serta sektor teknologi, media, dan telekomunikasi.
Menurut laporan UOB, meski tidak terlibat dalam ketegangan geopolitik global, Indonesia cukup terdampak dari sisi ekonomi dibandingkan rata-rata regional.
Terdapat peningkatan biaya pasokan yang diperburuk oleh suku bunga tinggi, sehingga menimbulkan tantangan yang signifikan, terutama bagi bisnis di sektor konstruksi dan infrastruktur.
Untuk memperkuat rantai pasok, pelaku usaha memprioritaskan digitalisasi, diversifikasi pemasok, dan kesadaran akan risiko internal. Peluang kolaboratif dan koneksi dengan mitra teknologi menawarkan dukungan penting dalam memastikan stabilitas rantai pasok.
Kebutuhan perdagangan utama dari mitra keuangan meliputi layanan ekspor, pembiayaan faktur, dan layanan impor, yang menyoroti pentingnya dukungan keuangan dalam menavigasi kompleksitas rantai pasokan.
Lebih lanjut, tingkat adopsi digital dinilai tetap tinggi dengan 9 dari 10 responden perusahaan menerapkan digitalisasi di setidaknya satu departemen. Industri manufaktur dan teknik, teknologi, media, dan telekomunikasi, bersama dengan perusahaan menengah, diklaim memimpin dalam adopsi digital.
Digitalisasi telah terbukti berperan penting dalam mendorong produktivitas, meningkatkan jangkauan pelanggan, dan meningkatkan kinerja bisnis secara keseluruhan.
Namun, kekhawatiran akan keamanan siber, pelanggaran data, dan biaya implementasi yang tinggi masih menjadi tantangan utama penerapan digitalisasi di kalangan pelaku usaha.
Oleh karena itu, industri Indonesia tertinggal dari negara lain di ASEAN dalam hal penerapan solusi digital. Ketertinggalan ini sebagian disebabkan oleh kesenjangan adopsi digital di berbagai wilayah di Indonesia, di mana kondisi infrastruktur dan akses terhadap teknologi sangat bervariasi.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, diperlukan dukungan yang krusial, termasuk menghubungkan pelaku usaha menengah dengan mitra di industri besar. Kolaborasi seperti ini memberikan wawasan dan sumber daya yang berharga untuk menavigasi lanskap digital secara efektif.
Lebih dari 9 dari 10 responden mengakui pentingnya keberlanjutan, namun adopsi ini masih stagnan, dengan hanya lebih dari dua dari lima perusahaan yang menerapkan praktik-praktik tersebut. Pendorong utama keberlanjutan termasuk keinginan untuk meningkatkan reputasi bisnis, menarik investor, dan mendapatkan keunggulan kompetitif.
Namun, hampir tiga dari 10 responden menyatakan kekhawatiran mereka akan meningkatnya biaya dan kurangnya dukungan pemerintah. Inisiatif seperti penghargaan dari pemerintah atau industri untuk praktik-praktik berkelanjutan memberikan pengakuan dan berfungsi sebagai platform pembelajaran bagi bisnis yang ingin memulai perjalanan keberlanjutan mereka.
Selain itu, insentif keuangan seperti keringanan pajak dan opsi pembiayaan berkelanjutan dapat meringankan masalah profitabilitas.
UOB berkomitmen untuk mendukung bisnis dalam perjalanan keberlanjutan mereka, dengan menawarkan serangkaian solusi pembiayaan yang disesuaikan untuk memenuhi beragam kebutuhan bisnis di setiap tahap perjalanan keberlanjutan mereka.
Karena bisnis di ASEAN dan Tiongkok Raya menghadapi lanskap yang menantang, UOB ingin membantu mereka meraih peluang, merintis jalan baru, dan menata ulang masa depan yang berkelanjutan bersama-sama.
Dengan pengalaman lebih dari 80 tahun, UOB memiliki jaringan regional yang luas dan pemahaman yang mendalam mengenai dinamika di ASEAN. UOB berkomitmen untuk membantu para pelaku usaha dalam menavigasi lanskap dinamis di kawasan ASEAN untuk meraih potensi penuh mereka.
President Director UOB Indonesia, Hendra Gunawan bahkan mengatakan UOB Indonesia juga memiliki salah satu fokus yang disebut konektivitas. Fokus ini ditujukan untuk menarik investasi asing dengan memanfaatkan jaringan layanan yang luas, sistem teknologi informasi, struktur modal yang baik, dan staf yang berkualitas.
"Jaringan UOB Group terfokus pada Asia Tenggara. Maka dari itu, salah satu fokus UOB adalah konektivitas, di mana kita menarik investor asing untuk berinvestasi pada bisnis di Indonesia," ujar dia kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Dalam rangka menarik investor asing, UOB Indonesia memiliki Foreign Direct Investment (FDI) Advisory Desk yang berjalan sejak 2013 bersama pemerintah dan otoritas bekerja sama mendorong investasi ke Indonesia. FDI ini tugasnya meyakinkan para investor asing melalui jaringan yang dimiliki UOB.
"Masih ada peluang untuk Indonesia meningkatkan konektivitas dengan negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara. Dari sisi itu, kita bisa ambil kesimpulan bahwa kita bentuk Tim FDI untuk menarik investasi dari negara lain masuk ke Indonesia," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, per Desember 2023 UOB berhasil menarik investasi senilai SGD 19 miliar dan penciptaan lapangan pekerjaan hingga 86.000 orang. Adapun Foreign Direct Investment (FDI) Advisory Desk UOB yang beroperasi di 19 pasar, menawarkan industry-expertise, menghubungkan bisnis yang ingin investasi maupun berekspansi.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Uni Eropa Tiba-Tiba Gandeng RI Cs dan Beri Dana Rp 163 M, Ada Apa?