Ramai-Ramai Pengusaha-Industri Kreatif Tolak Aturan Zonasi Iklan Rokok

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
28 August 2024 20:30
(Kiri-Kanan) Ketua Umum Asosiasi Media Luar-griya Indonesia (AMLI), Fabianus bernadi, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, dan Ketua Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono. (Dok. Istimewa)
Foto: (Kiri-Kanan) Ketua Umum Asosiasi Media Luar-griya Indonesia (AMLI), Fabianus bernadi, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, dan Ketua Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono. (Dok. Istimewa)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan pengusaha dan pelaku industri kreatif kompak menolak Pasal 449 dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 terkait Pelaksanaan Undang-Undang (UU) No 17/2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan). Pasal 449 ayat (1) huruf (d) menetapkan, iklan media luar ruang rokok dilarang ditempatkan di dalam radius 500 meter dari lokasi fasilitas pendidikan dan tempat bermain anak.

Kalangan pengusaha sampai industri kreatif menilai perancangan PP 28/2024, khususnya di Pasal 449 yang tanpa melibatkan pemangku kepentingan terkait berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi industri periklanan maupun sektor turunannya. Menurut mereka, tujuan untuk menekan prevalensi perokok bisa jadi malah tidak tercapai dan menambah pengangguran baru.

"Kemungkinan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), karena ini menjadi efek domino, salah satunya ke industri kreatif kelas menengah ke bawah. Jadi, dampaknya cukup signifikan," kata Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (28/8/2024).

Aturan Iklan Rokok dalam PP Kesehatan No 28/2024. (Tangkapan Layar Peraturan Pemerintah)Foto: Aturan Iklan Rokok dalam PP Kesehatan No 28/2024. (Tangkapan Layar Peraturan Pemerintah)
Aturan Iklan Rokok dalam PP Kesehatan No 28/2024. (Tangkapan Layar Peraturan Pemerintah)

Pria yang akrab disapa Fabi ini bahkan sudah membuat simulasi jika PP 28 Tahun 2024 tentang kesehatan diberlakukan. Turunan PP ini, menetapkan aturan ketat untuk iklan produk tembakau dan rokok elektronik. Berdasarkan Pasal 449 ayat (1), iklan tidak boleh dipasang di area sensitif seperti fasilitas kesehatan, tempat pendidikan, area bermain anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.

Hasilnya, dari 57 perusahaan yang tersebar di 26 kota, terdampak dengan regulasi ini. Bahkan industri yang mengandalkan 75% mengandalkan produk rokok, sebanyak 25% perusahaan diprediksi langsung bangkrut.

"Contohnya di Bali, sudah ada laporan, ada festival musik yang batal dilaksanakan karena tidak mendapatkan sponsor rokok. Pengiklan tidak berani, karena takut melanggar PP 28," katanya.

Fabi mengatakan, pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan regulasi tersebut. Padahal, ketika PP itu masih dalam bentuk rancangan (RPP), industri media luar sudah terdampak. Pasalnya, kontribusi sponsor rokok cukup besar.

"Ini bukan persoalan 500 meter dari satuan pendidikan saja. Tetapi tidak diletakkan di jalan utama. Saya kira harus dihilangkan karena reklame itu harus ditempat ramai," tegasnya.

Karena saat ini PP sudah jadi, Fabi berharap agar penerapannya ditunda, dan dalam masa penundaan itu ada pembahasan lanjutan yang melibatkan pihak pengusaha untuk diterima masukannya.

"Kami minta direvisi, paling simple kembali ke Peraturan 109," sebutnya.

Intinya, lanjut dia, regulasi ini sulit diterapkan karena menimbulkan pemahaman beragam dan merugikan. Salah satunya, pengaturan iklan produk tembakau pada videotron yang diperlakukan layaknya media penyiaran merupakan bukti, bahwa pembuat regulasi tidak memahami produk atau objek yang diatur.

Peringatan Fabianus diamini oleh Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Heri Margono. Harapannya, regulasi ini ditunda dahulu penerapannya. Asumsinya, sebuah regulasi itu harus memenuhi dua kriteria. Pertama, harus mempertimbangkan keadilan. Kedua, mengedepankan efisiensi.

"Keduanya tidak gampang. Mestinya melibatkan pihak terlibat. Supaya menjadi efisien, dan adil. Di PP ini ada yang merasa ketidakadilan," kata Heri.

Heri mengatakan, sebelum aturan ini disahkan, DPI telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan, namun tidak pernah direspon. Ia menyayangkan sikap abai Kemenkes.

Padahal, aturan ini berdampak langsung pada pelaku usaha media luar ruang serta sektor-sektor pendukungnya, seperti desainer dan percetakan.

"Industri kreatif yang berpotensi menyerap angkatan kerja baru terancam akibat kebijakan ini," katanya.

(Kiri-Kanan) Ketua Umum Asosiasi Media Luar-griya Indonesia (AMLI), Fabianus bernadi, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, dan Ketua Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono. (Dok. Istimewa)Foto: (Kiri-Kanan) Ketua Umum Asosiasi Media Luar-griya Indonesia (AMLI), Fabianus bernadi, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, dan Ketua Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono. (Dok. Istimewa)
(Kiri-Kanan) Ketua Umum Asosiasi Media Luar-griya Indonesia (AMLI), Fabianus bernadi, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, dan Ketua Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono. (Dok. Istimewa)

Mengutip data Nielsen tahun 2019, rokok adalah kategori produk yang paling banyak diiklankan di media luar ruang dengan lebih dari 1.000 titik yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

"Jika dijalankan, larangan iklan ini berpotensi menekan pendapatan media luar ruang yang bergantung dari promosi produk rokok. Kerugian besar tidak hanya timbul dari biaya langsung industri, tetapi juga biaya tidak langsung seperti pembuatan materi dan iklan promosi," ucap dia.

Situasi ini menjadi kontradiktif dengan komitmen pemerintah untuk memperkuat industri kreatif Tanah Air.

"Kita tahu bahwa industri kreatif merupakan salah satu sektor yang berpotensi menyerap angkatan kerja baru. Sektor ini bisa menjadi solusi atas tingkat pengangguran Gen Z khususnya pada rentang umur 18-24 tahun yang jumlahnya sekarang hampir 10 juta orang dan ini menjadi keresahan kita semua," ucapnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sutrisno Iwantono menyarankan, agar regulasi ini direvisi.

"Kalau tidak bisa dibatalkan, bisa diundur. Ditunda pelaksanaannya. Kita harapkan Pemerintah mau menampung," kata Sutrisno.

Sebagai asosiasi multisektor, APINDO mengamini banyaknya masukan tentang PP 28/2024. Sebelum periklanan, tembakau lebih dahulu, kemudian pelaku makanan dan minuman juga perdagangan, semua mempunyai keluhan yang sama.

"Pembatasan iklan kan untuk itu, bagian dari tembakau. Concern kita, kebijakan harusnya tidak datang tiba-tiba. Pemerintah kurang menampung aspirasi masyarakat. Ini menimbulkan gejolak luar biasa. Ini menandakan, belum ada komunikasi antara pemerintah dan pelaku usaha," kata Sutrisno.

Bahkan, Sutrisno mengaku tidak pernah diajak pemerintah untuk membahas regulasi itu. Sehingga, regulasi tersebut kini menjadi persoalan dan akhirnya tidak bisa dilaksanakan.

Misalnya, pelarangan rokok, nyatanya rokok ilegal jalan terus, industri rokok terdampak, resapan turun, ujungnya PHK.

"Kita bicara iklan punya dimensi. Iklan tidak berdiri sendiri. Semua akan terkena. Seharusnya, pemerintah melakukan kajian komprehensif, bisa menampung berbagai pihak. Pandangan konsumen seperti apa? Perlu dikaji juga," sarannya.

Sutrisno mengatakan, saat ini APINDO sudah mengumpulkan daftar masalah. Bukan hanya periklanan tapi seluruh sektor. Kita kumpulkan, kemudian kita bicara kepada pemerintah.

"Isunya menjadi komprehensif, tapi tidak bisa APINDO sendirian. Harus didukung asosiasi sektoral. Harus ada pergerakan bersama," pungkasnya.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PP Kesehatan Sah Berlaku! Rokok Boleh Jadi Sponsor, Tapi Tak Boleh Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular