Beda Pandangan Gubernur BI & Sri Mulyani Soal Rupiah di RAPBN 2025
Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat beradu argumen terkait penetapan asumsi nilai tukar rupiah dan suku bunga SBN dalam RAPBN 2025.
Adu argumen itu mencuat sebelum akhirnya pemerintah dan DPR bersepakat bahwa asumsi kurs diubah dari sebelumnya dalam nota keuangan dan RAPBN 2025 sebesar Rp 16.100 menjadi Rp 16.000/US$, sedangkan suku bunga SBN dari 7,1% menjadi 7%.
Bagi Perry, khusus untuk asumsi kurs rupiah, sebetulnya fundamental nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 2025 akan berada pada kisaran Rp 15.300 sampai dengan Rp 15.700. Namun, angka itu ia tekankan belum mempertimbangkan risiko tekanan ekonomi global pada 2025.
"Tapi tadi kamu juga sampaikan kalau nilai fundamental belum mempertimbangkan kondisi geopolitik yang tadi Ibu Menkeu sampaikan bisa naik, bisa turun, dan karenanya perlu ada kehati-hatian di atas nilai fundamentalnya," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Namun, Perry menekankan, bila mempertimbangkan faktor risiko, logisnya sikap kehati-hatian pemerintah hanya menambahkan sekitar Rp 200 poin dalam RAPBN 2025, sehingga level asumsi kurs di kisaran Rp 15.900.
"Ditambah Rp 200 sudah hati-hati, atau ditambah Rp 100 sudah hati-hati, tapi kalau ditambah Rp 400 menjadi Rp 16.100 berarti kan terlalu berhati-hati. Ya kesimpulannya kalau ditambah Rp 200 dari Rp 15.700 itu tambahan untuk kehati-hatian mungkin masih make sense. Tapi ini pandangan kami ya tentu dikembalikan ke pemerintah dan DPR," ucap Sri Mulyani.
Terkait dengan SBN, Perry mengatakan, sebetulnya kalau mau kompetitif tingkat suku bunganya dibandingkan dengan negara lain, seperti India. India kata dia imbal hasil SBN nya terhadap imbal hasil US Treasury 10 tahun hanya selisih 2,8%. Maka jika pemerintah ingin hati-hati dan tetap kompetitif seharusnya berada pada kisaran 6,7%.
"Kalau kita ingin lebih kompetitif dengan India kan berarti 2,9%, plus ditambah kehati-hatian fiskal 3,8% berarti 6,7%. Itu masih sejalan dengan fundamental," tegas Perry.
Setelah Perry memaparkan, Sri Mulyani menyampaikan argumentasi yang berbeda. Ia mulanya menyampaikan argumentasi terkait keputusan pemerintah untuk tetap mempertahankan yield SBN di sekitar 7-7,1%. Menurutnya ini mempertimbangkan kompleksitas penetapan yield dengan negara yang memiliki kapasitas ekonomi dan rating surat utang yang setara, tidak hanya bisa disandingkan dengan India.
"Jadi jangan satu benchmark, satu negara saja, karena dia mungkin market deepening nya beda, natur defisit beda, dan lain-lain. Untuk itu kita lihat saja negara yang setara dengan kita ratingnya dan mereka itu memang banyak variasi yieldnya ke US Treasury, dan itu berikan juga kita pemahaman nuansa yang lebih prudent, supaya tahu kita ekosistem bergaul atau kelompoknya di negara mana saja," ucap Sri Mulyani.
Desain yield SBN tenor 10 tahun yang sebesar 7% itu juga menurutnya juga mempertimbangkan pemberian ruang fiskal yang besar untuk pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
"Karena kami ingin pemerintah baru jangan terlalu dipepet itu sengaja buat bantalan, jadi kami mohon bisa pahami bukan bicara signaling karena bicara hari ini kita waktu bicara KEM PPKF satu setengah bulan lalu Pak Gubernur buat proyeksi SBN di atas 7% semua. Ini untuk tahun depan itu baru 1,5 bulan lalu, sekarang 6,9%, itu menunjukkan di fiskalnya, numbers-nya pada fiskal space," tegas Sri Mulyani.
Adapun untuk rupiah, Sri Mulyani menekankan, pemerintah dalam menetapkan di level atas Rp 16.000 itu mempertimbangkan kondisi defisit transaksi berjalan yang berpotensi membengkak ke depannya, di samping ukuran cadangan devisa yang tercatat di Bank Indonesia.
"Kalau kita bicara BoP (Balance of Payment) hampir semua proyeksi tentang CAD lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya dan CAD tidak berbalik semalam pak, enggak akan bisa berbalik dalam semalam. Itu yang sebabkan kami ekstra hati-hati," ujar Sri Mulyani.
"Karena kalau growth-nya makin tinggi kita enggak pakai startegi bagus kadang-kadang current accountnya itu bisa defisit tinggi dan itu bisa langsung kena ke exchange rate, dan yang kedua cadev atau dari sisi fiskalnya sendiri. Kan ini fiskalnya kan defisitnya agak tinggi 2,5% dibanding tahun. Ini jadi saya anggap bantalan," tegasnya.
(Arrijal Rachman/haa)