Gempa, Tsunami Sampai Cuaca Ekstrem Mengancam RI, Pemerintah Bisa Apa?

Damiana, CNBC Indonesia
14 August 2024 17:51
Tim gabungan pembersihan melakukan material banjir dan longsor, Jumat (9/8). Sumber foto: Kota Balikpapan. (Dok.BNPB)
Foto: Tim gabungan pembersihan melakukan material banjir dan longsor, Jumat (9/8). Sumber foto: Kota Balikpapan. (Dok.BNPB)

Jakarta, CNBC Indonesia  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan, banyak ancaman bencana alam yang mengintai Indonesia. Mulai dari gempa bumi, tsunami, perubahan iklim, cuaca ekstrem, hingga letusan gunung berapi. Pemerintah pun diharapkan siap siaga dengan mitigasi bencana yang mumpuni. Dengan begitu bisa menekan jumlah korban sampai seminimal mungkin, bahkan zero victim alias tak ada korban jiwa.

Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, Indonesia merupakan wilayah dengan aktivitas kegempaan tinggi. Selain itu, ungkapnya, Indonesia berada di pertemuan 3 lempeng utama dunia. Yaitu Indo Australia, Pasifik, dan Eurasia. Dampaknya, Indonesia memiliki 13 segmen megathrust, yaitu sumber gempa yang mampu memicu gempa besar.

Tak hanya itu. Terdapat 295 segmen sesar aktif yang sudah teridentifikasi. Namun, masih banyak lagi yang belum teridentifikasi. Kondisi itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara rawan gempa. Daryono menambahkan, Indonesia rawan gempa karena memang berada di daerah yang tertekan dari berbagai arah. 

"Dari Selatan ditekan Australia, ditekan Lempeng Laut Pasifik, Laut Filipina, dan juga aspek tektonik escape dari Indo China yang menekan Indonesia. Karena India itu menekan ke Utara, maka Indo China itu menekan kita. Jadi Indonesia itu terkepung dari berbagai arah, sehingga sumber gempanya banyak," kata Daryono, belum lama ini.

"Sampai saat ini, lanjut dia, juga masih banyak sumber gempa atau sesar yang belum terpetakan. Dia pun mengingatkan potensi-potensi gempa merusak yang sebenarnya masih belum dikenal. Termasuk, gempa-gempa dengan kedalaman di atas 300 km di bawah laut (gempa deep focus) yang sampai saat ini pemicunya masih dalam perdebatan," terangnya.

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah?

Ahli Gempa dan Tsunami GNS Science Selandia Baru Aditya Gusman mengatakan, diperlukan kerja sama antar pemerintah pusat dan daerah, baik tingkat kota/ kabupaten maupun provinsi, untuk perencanaan tata kota yang mengacu pada estimasi bahaya.

Hal itu disampaikan saat diskusi bedah buku seri 4, "Tsunami Bahaya yang Diabaikan", yang digelar Disaster Channel secara online, Jumat (9/8/2024). 

"Kita punya istilah estimasi hazard, periode ulang. Kalau mau desain sesuatu, return periode-nya berapa lama? 100-2.000 tahun misalnya. Ini berkaitan dengan frekuensi. Kalau return periodenya 2.000 tahun, berarti frekuensinya rendah. Misalnya tsunami 15 meter. Kalau 100 tahun misalnya tsunami 1 meter. Tapi bukan berarti kejadiannya setiap 100 tahun ya. Ini statistik, acuan tinggi rendahnya frekuensi kejadian," katanya. 

"Ini bisa jadi acuan untuk tata kota. Biasanya diminta untuk membuat return periode maksimum. Misalnya, maksimum 2.500 tahun, kejadian tsunami 10 meter. Ini akan digunakan untuk desain fasilitas-fasilitas sangat penting dan krusial. Misalnya, bangunan rumah sakit, bangunan pemerintahan. Dirancang agar kuat dan bertahan lama pada saat tsunami tinggi 10 meter terjadi," jelas Aditya.

Sementara untuk merancang pembangunan bangunan yang tidak terlalu krusial, seperti fasilitas umum berupa lapangan bola atau toilet umum, akan menggunakan estimasi periode ulang 100 tahun. 

"Jadi ada hazard assessment-nya dengan periode berulangnya. Ini akan menentukan prioritas ketahanan bangunan. Ini digunakan dalam perencanaan, tergantung pemerintah daerah," kata Aditya.

Sementara itu, Pengamat Tata Kelola Kota dari Universitas Pakuan (Unpak) Budi Arief mengatakan hal senada. Menurutnya, pemetaan wilayah-wilayah sesuai peruntukan dan kondisinya mendesak dilakukan.

Budi mengatakan, bencana memang bisa diprediksi, namun tak ada yang dapat menebak kapan akan terjadi. Karena itu, lanjut dia, salah satu faktor yang harus dipersiapkan adalah infrastruktur yang mumpuni. 

Tak hanya itu. 

Dia juga menyoroti pengelolaan lahan yang harus terencana. 

"Bagaimana menangani area rawan gempa, berisiko banjir dan longsor? Belum lagi dengan potensi terjadinya degradasi lahan. Jadi, masalah perencanaan dan pengelolaan di hulu belum terencana," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (14/8/2024).

Karena itu, lanjut dia, pemberian izin pemanfaatan lahan di suatu lokasi harus terencana dan memperhitungkan potensi bencana yang mengintai. Dia pun menyoroti masih banyaknya pemukiman yang terbangun di sepanjang pinggiran sungai. Bahkan, pemukiman itu mendapat pasokan listrik dan air. 

Pemetaan wilayah rawan bencana, ujarnya, mendesak dilakukan. 

"Karena itu, integrasi kebijakan menjadi faktor penting. Dengan begitu, pemetaan dan menjamin pengembangan suatu wilayah sesuai dengan peruntukannya dapat terwujud," cetus Budi.

Sebab, lanjut dia, potensi bencana tidak hanya datang dari kejadian alam. Tapi, juga bencana yang berpotensi terjadi karena ledakan jumlah penduduk. Sebab, kata dia, jika jumlah penduduk di suatu lokasi terlalu padat, akan mengurangi peluang dan daya dukung infrastruktur yang tersedia.

"Penciptaan lapangan kerja baru di daerah menjadi penting, sehingga tidak semakin memicu terjadinya urbanisasi. Pusat-pusat ekonomi baru harus diciptakan, sehingga tidak harus berlomba-lomba ke Jakarta," katanya.

Budi mengusulkan, salah satu cara yang strategis dapat dilakukan untuk menekan dampak bencana adalah dengan mengurangi lahan-lahan tertutup melalui pembangunan gedung vertikal. Meski, upaya itu, kata dia, juga berhadapan pada perubahan budaya di Indonesia yang masih lebih mengutamakan rumah tapak. 

Hal itu, kata dia, terlihat dari penjualan apartemen yang tak terlalu signifikan. 

"Yang pasti, acuan yang harus jadi panduan tata ruang, baik nasional, provinsi, maupun kota/ kabupaten adalah dengan integrasi kebijakan. Pusat dan daerah harus terintegrasi kebijakan tata ruangnya. Jangan sampai ada lagi pembangunan perumahan di wilayah rawan bencana, misalnya. Intinya, mitigasi bencana harus dilakukan konsisten."kata Budi.

Data Bencana Indonesia, 14/8. (BNPB Gis)Foto: Data Bencana Indonesia, 14/8. (BNPB Gis)
Data Bencana Indonesia, 14/8. (BNPB Gis)

891 Bencana Alam Hantam Indonesia Sejak Awal 2024

Mengutip data Geoportal Data Bencana Indonesia, sepanjang 1 Januari sampai 12 Juni 2024, tercatat ada 891 bencana alam yang terjadi di Indonesia.

Dari data itu, 8 kejadian berupa gempa bumi, 3 erupsi gunungapi, 593 banjir, 157 kejadian cuaca ekstrem, 75 peristiwa tanah longsor, 43 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 7 kejadian ekekringan, dan 5 kejadian gelombang pasang dan abrasi.

Tercatat, ada 267 orang korban meninggal dunia akibat bencana tersebut, 27 orang dilaporkan hilang, 410 orang luka-luka, dan 3.890.547 orang menderita dan mengungsi.

Bencana itu juga mengakibatkan kerusakan rumah total 38.155 unit.

Sementara itu, mengutip laporan World Risk Report 2023 di situs resmi World Population Review, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara berisiko tinggi terhadap bencana alam.

Posisi pertama ditempati Filipina sebagai negara paling rawan bencana alam. Laporan berdasarkan data tahun 2023 itu menyebutkan, Filipina yang terletak di Pacific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik itu memiliki indeks risiko bencana alam 46,86.

Di posisi kedua ada Indonesia dengan indeks risiko bencana 43,5. Dijelaskan, Indonesia yang juga berada di Cincin Api Pasifik, terletak di 3 lempeng tektonik.

"Indonesia merupakan negara kedua yang paling rawan terkena bencana alam. Indonesia juga sangat rentan terhadap tsunami," demikian mengutip World Population Review, Jumat (9/8/2024).

Setelah Indonesia, posisi ketiga, keempat, dan kelima sebagai negara paling rawan bencana ditempati India, Meksiko, dan Kolombia.

Kelima negara ini masuk dalam daftar paling rawan bencana, sama-sama terletak di Cincin Api Pasifik.

Imbauan BMKG

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengimbau pentingnya kolaborasi dan kerja sama berbagai pihak untuk menjaga keamanan masyarakat dari bahaya bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi.

"Sejarah membuktikan, bencana alam menjadi ancaman nyata keselamatan masyarakat dunia. Kami, Indonesia, Australua, dan India berkolaborasi untuk melindungi 25 negara di sepanjang Samudera Hindia," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan di situs resmi, dikutip Rabu (14/8/2024).

"Perlu diketahui, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki banyak ancaman bencana alam. Contohnya adalah gempa bumi, tsunami, perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan letusan gunung berapi. Bencana multi hazard yang harus ditangani dengan serius jika tidak ingin banyak masyarakat yang terdampak," kata Dwikorita.

Apalagi, imbuh dia, sebagian masyarakat masih belum memiliki akses terhadap informasi yang menggunakan teknologi canggih dengan pemodelan observasi berdasarkan data dan informasi. Dan, kalau pun memiliki akses atas informasi itu, sebut Dwikorita, mereka mungkin tidak memahami produk teknologi tinggi akibat kesenjangan antara teknologi canggih dan cara yang sederhana dan biasa.

Dia mengingatkan, meski pengamatan secara sistematis dilakukan selama 24 jam tanpa henti dengan teknologi canggih, masyarakat masih belum sepenuhnya aman. 

"Diperlukan sosialisasi untuk menyederhanakan bahasa teknologi menjadi bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas. Misalnya, peringatan dini tsunami dan gempa bumi harus menggunakan bahasa sederhana agar masyarakat cepat mengerti dan lebih peduli demi keselamatan bersama," tegas Dwikorita.

"Kolaborasi ini bertujuan untuk mengatasi persoalan, tidak hanya soal ilmu pengetahuan, namun juga pendidikan dan pemberdayaan untuk memiliki ketahanan di mana tidak ada korban dan keberlanjutan," kata Dwikorita.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Media Asing Sorot Ucapan Kepala BMKG Soal Ancaman Megathrust di RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular