
Rangkuman Perjalanan 10 Tahun Ekonomi RI Dipimpin Jokowi

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo akan turun takhta sebagai Kepala Negara Indonesia pada Oktober 2024 mendatang, karena Prabowo Subianto telah memenangkan kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) pada Februari 2024 dan akan resmi dilantik pada bulan itu.
Selama 10 tahun Jokowi menjabat, ekonomi Indonesia pun telah mengalami berbagai perkembangan, mulai dari krisis Pandemi Covid-19, maraknya konflik geopolitik dan perang dagang di tingkat global, hingga munculnya tren kebijakan suku bunga acuan bank sentral di berbagai negara.
Namun, selama itu pula perekonomian Indonesia tumbuh di kisaran 5%, stabil namun tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan, sesuai target untuk bisa lepas dari jebakan berpendapatan menengah atau middle income trap.
Untuk melihat kondisi ekonomi Indonesia jelang genap 10 tahun Jokowi menjabat, berikut ini beberapa detail datanya:
1. Pertumbuhan Ekonomi Betah di 5%
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama hampir 10 tahun Jokowi menjadi presiden belum mampu tumbuh tinggi di atas 5%. Bahkan, belum pernah mencapai target yang dicanangkan Jokowi sendiri saat pertama kali mengikuti kontestasi Pilpres pada 2014 silam. Saat masa kampanye pada tahun itu, ia menargetkan Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi hingga 7%.
Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2015 atau tahun pertama Jokowi efektif menjalankan roda pemerintahan hanya tumbuh 4,8%, melambat dibandingkan 2014 yang tumbuh 5,02%. Pada 2016, pertumbuhan ekonomi hanya mampu kembali ke level 5,03%, lalu 2017 sebesar 5,07%, 2018 mencapai 5,17%, dan 2019 kembali ke 5,02%.
Pada 2020 atau saat merebaknya Pandemi Covid-19 ekonomi Indonesia terkontraksi hingga minus 2,07%, 2021 kembali tumbuh 3,7%, 2022 tumbuh 5,31%, dan 2023 hanya tumbuh 5,05%. Per kuartal II-2024 pun pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,05%.
2. Indonesia Punya Inflasi Rendah
Presiden Jokowi beberapa hari terakhir berbangga diri karena mampu menjaga inflasi Indonesia di level stabil, yakni kisaran bawah 3%. Ia bahkan tak ragu mengatakan bahwa Indonesia saat ini menjadi salah satu negara yang terbaik dalam menjaga tingkat inflasi.
"Di bulan Mei lalu inflasi kita berada di 2,84%. Ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia," ujarnya saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2024 dan Tim Pengendali Inflasi Daerah Award Tahun 2024 di Istana Negara di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/6/2024).
Jokowi mengingatkan 9-10 tahun lalu inflasi berada di angka 9,6%. Namun, kini berbalik arah hingga bergerak di kisaran 2,5% plus minus 1%. Ia mengatakan, kondisi ini tak terlepas dari disiplinnya pemerintah pusat dan daerah dalam mengawal tingkat inflasi.
"Dan saya tahu setiap minggu oleh mendagri (TIto Karnavian) diabsen satu per satu inflasinya berapa dibuka secara gamblang. Berapa angkanya di provinsi ini, di kabupaten ini, di kota ini sehingga semuanya tahu," kata Jokowi.
Namun, pada akhir masa pemerintahannya, Indonesia malah mengalami deflasi selama tiga bulan terakhir, yang menurut beberapa ekonomi menjadi pertanda daya beli masyarakat melemah.
Pada Juli 2024, Indonesia kembali mengalami deflasi sebesar 0,18% (month to month/mtm). Artinya, dalam tiga bulan sudah mengalami deflasi (mtm) yakni pada Mei 2024 sebesar 0,03%, sebesar 0,08% pada Juni 2024, dan sebesar 0,18% pada Juli 2024.
Deflasi selama tiga bulan beruntun adalah hal yang sangat jarang terjadi di Indonesia. Dalam rentang waktu 1986-2024 atau 38 tahun terakhir, deflasi selama tiga bulan beruntun hanya dua kali terjadi yakni pada 1999 dan 2020. Indonesia mencatat deflasi tiga bulan beruntun pada 2020 yakni pada Juli (-0,1%), Agustus (-0,05%), dan September (-0,05%).
Deflasi tiga bulan beruntun sebelumnya yang terjadi pada 1999. Pada tahun tersebut, deflasi bahkan terjadi dalam lima bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,93%), dan September (-0,68%).
![]() Presiden Jokowi motoran di IKN. (Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden) |
3. Rupiah Makin Keok Lawan Dolar AS
Penghujung masa kepemimpinannya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat terkapar hingga menyentuh level Rp 16.400/US$ pada Juni 2024.
Anjloknya nilai tukar rupiah di level atas Rp 16.000 sebetulnya juga terjadi saat Indonesia masuk pusaran Krisis Ekonomi Asia atau Krisis Moneter (Krismon) pada 1997/1998 yang traumatis. Krisis itu dipicu oleh krisis mata uang di beberapa negara Asia, seperti Thailand.
Namun, saat itu rupiah jatuh sangat dalam dari Rp 4.650/US$ pada akhir 1997 menjadi Rp 7.300/US$ pada akhir November 1998. Bahkan rupiah di pertengahan 1998, sempat anjlok hingga ke level Rp 16.800/US$. Rp 16.800/US$ berdasarkan catatan tim riset CNBC Indonesia merupakan rekor terlemah sepanjang masa.
Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) pertama kali menjabat pada 20 Oktober 2014, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 12.030. Kondisi ekonomi global dan domestik pada saat itu cukup stabil, meskipun terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, termasuk defisit transaksi berjalan dan ketergantungan pada aliran modal asing.
Rupiah melesat 1,16% sehari sebelum Presiden Jokowi dilantik dan menguat 0,62% saat hari pelantikan. Namun, mata uang garuda sempat ambruk selama enam hari beruntun pada awal Oktober 2018 dengan total pelemahan menembus 2,13%.
Pada 9 Oktober rupiah ambruk ke Rp 15.225 per dolar AS. Posisi tersebut terendah sepanjang awal era Jokowi menjabat hingga 9 Oktober 2018 atau empat tahun.
Pelemahan ini terjadi di tengah penguatan dolar AS yang didorong oleh lelang obligasi pemerintah AS dalam jumlah besar dengan imbal hasil yang menarik bagi investor. Kondisi ini menyebabkan permintaan dolar meningkat tajam, mempengaruhi mata uang negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Selain itu, masa itu merupakan awal perang dagang AS-China di masa kepemimpinan Donald Trump.
Saat masa Pandemi Covid-19, nilai mata uang Garuda juga sempat anjlok dalam, hingga 13,7% pada Maret 2020. Pada 23 Maret 2020, nilai tukar rupiah anjlok ke level Rp 16.550 per dolar AS atau terlemah sejak era Krisis Moneter 1997/1998. Posisi tersebut juga menjadi yang terlemah di era Jokowi hingga saat ini.
Sejak awal masa kepemimpinan Jokowi hingga pertengahan 2024, nilai tukar rupiah telah mengalami fluktuasi yang cukup signifikan, dipengaruhi oleh berbagai faktor global dan domestik.
Dari Rp 12.030 per dolar AS pada 2014 hingga mencapai Rp 16.445 per dolar AS pada Juni 2024, rupiah telah melemah sebesar 36% seiring dengan dinamika ekonomi global yang tidak menentu, termasuk pandemi COVID-19, kebijakan moneter The Fed, dan kondisi ekonomi China.
4. Data PHK Bertebaran Tapi Pengangguran Turun
Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia pada akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo marak dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi PHK ini pun terjadi di sektor padat karya seperti di industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
Mengutip Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Mei 2024, memang terdapat 27.222 orang tenaga kerja di Indonesia yang telah terdampak PHK. Dibanding periode yang sama tahun lalu, jumlah korban PHK meningkat 48,48%. Sebab, pada catatan Januari-Mei 2023 jumlah tenaga kerja yang ter PHK 18.333 orang.
Sayangnya, data pemerintah itu tak menggambarkan sektor mana yang paling banyak terjadi PHK. Meski begitu, mengutip data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), PHK di sektor industri TPT saja telah mencapai 10.800 tenaga kerja, per Mei 2024.
Kendati data PHK kini tengah marak, pemerintah menilai tingkat pengangguran di Indonesia terus mengalami penurunan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, tingkat pengangguran turun 10 tahun terakhir, dari 2013 sebesar 5,70% dan pada 2023 hanya sebesar 4,82%.
"Tingkat pengangguran nasional terus menurun. Per Februari 2024, tingkat pengangguran tercatat di level 4,82%, turun signifikan dari 5,7 (Februari 2014), dan sudah di bawah level pra-pandemi," ucap Sri Mulyani saat Rapat Paripurna DPR RI Ke-17 Masa Sidang V Tahun Sidang 2023-2024.
![]() Presiden Joko Widodo mengenakan baju daerah Ageman Songkok Singkepan Ageng. (Dok. Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden) |
5. Penduduk Miskin Berkurang 3,06 Juta Orang
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin selama 10 tahun terakhir turun sekitar 2,2% per tahun. Selama satu dekade masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, penduduk miskin di Indonesia sudah berkurang sekitar 3,06 juta orang.
Plt Sekretaris Utama BPS Imam Machdi mengatakan, data terbaru per Maret 2024, jumlah penduduk miskin sebanyak 25,22 juta orang, turun dari posisi Maret 2023 yang berjumlah 25,09 juta orang. Dibanding Maret 2021 juga lebih rendah karena saat itu sebanyak 27,54 juta orang.
"Jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 3,06 juta orang atau turun sekitar 2,22% poin dalam sepuluh tahun terakhir," kata Imam saat konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (1/7/2024).
Pada Maret 2021 jumlah penduduk miskin memang sempat melonjak hingga mencapai 27,54 juta orang, dari sebelumnya pada Maret 2020 sebanyak 26,42 juta orang karena merebaknya Pandemi Covid-19. Namun, sebelum periode itu jumlah kemiskinan memang sudah turun secara konsisten.
Misalnya, pada Maret 2019 hanya sebanyak 25,14 juta orang, dari sebelumnya data per Maret 2018 sebesar 25,95 juta. Data per Maret 2018 itu juga turun dari catatan per Maret 2017 sebanyak 27,77 juta orang. Pada Maret 2016 pun datanya masih sebanyak 28,01 juta orang.
Per Maret 2015 jumlahnya sempat mencapai titik tertingginya selama 10 tahun terakhir, sebesar 28,59 juta orang. Jumlah penduduk miskin pada periode itu naik dari catatan per Maret 2014 yang sebesar 28,28 juta orang.
"Secara rata-rata, jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 300 ribu orang per tahun,: kata Imam Machdi.
(arm/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani: Ekonomi 5,11% Berkualitas, Buktinya Pengangguran Turun
