Pengusaha Wanti-Wanti, Industri Manufaktur RI Bakal Bernasib Jelek

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
Senin, 05/08/2024 13:40 WIB
Foto: Ilustrasi Pabrik Plastik. (Dok. Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Data Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Juli 2024 dilaporkannambruk dan masuk ke zona kontraksi ke level angka 49,3. Kontraksi ini pertama kali terjadi sejak Agustus 2021 atau hampir tiga tahun terakhir. Untuk diketahui, data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan.

Bila aktivitas manufaktur berada di level di atas 50, artinya sektor manufaktur RI masih bertumbuh dan ekspansi. Ini bisa menjadi pertanda jika permintaan masih tinggi sehingga ekonomi cerah. Sebaliknya jika tengah jeblok mengindikasikan sektor manufaktur tengah berkontraksi. Pengusaha pun menilai ada potensi nilai PMI makin jeblok hingga akhir tahun mendatang.

"Mau tidak mau industri harus menurunkan produksi, bahkan di sektor tekstil malah sudah PHK. Kalau ini dibiarkan terus menerus dan pemerintah tidak ada action, maka saya melihat tahun 2024 ini PMI manufaktur akan tambah jelek," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS) Fajar Budiono, dikutip Senin (5/8/2024).


Seperti diketahui, PMI manufaktur Indonesia anjlok level ke 49,3 pada Juli 2024 dari posisi bulan Maret 2024 yang ada di level 54,2.

Ini adalah kontraksi pertama sejak Agustus 2021 atau hampir tiga tahun terakhir setelah bertahan di fase ekspansif selama 34 bulan sebelumnya. Sebagai informasi, PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, artinya sektor usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi atau berada di zona negatif.

Kontraksi itu dipicu oleh penurunan bersamaan pada output dan pesanan baru. Permintaan pasar yang menurun jadi faktor utama penyebab penjualan turun. Disebutkan, produsen merespons kondisi ini dengan sedikit mengurangi aktivitas pembelian mereka pada bulan Juli.

Pemerintah harus kompak dalam melindungi industri dalam negeri dari serangan impor. Terbukti, kata dia, jebloknya PMI merupakan salah satu dampak dari merajalelanya barang impor, sementara pemerintah tidak kompak dalam melakukan penindakan.

"Saat ini juga ada beberapa parameter yang banyak anomalinya. Sudah saatnya negara harus turun cepat. Namun, kadang-kadang, pemerintah kurang tanggap dan respon cepat. Safeguard harus segera dijalankan, anti-dumping dijalankan, Permendag yang mengatur hajat hidup orang banyak harus segera diimplementasikan dengan benar, bahan baku dipermudah, namun kenyataannya ini justru terbalik," sesal Fajar.

Sorotan mengarah pada relaksasi impor secara khusus terhadap tujuh kelompok barang yang sebelumnya dilakukan pengetatan impor seperti elektronik, alas kaki, pakaian jadi, aksesoris, kosmetik, dan perbekalan rumah tangga lainnya berimbas besar dan menjadikan PMI Indonesia sebagai salah satu korbannya.

"Perlindungan terhadap industri dalam negeri adalah kunci keberhasilan industri manufaktur di masa depan. Kebijakan relaksasi haruslah mempertimbangkan pandangan dan aspirasi para pemangku yang terdampak. Sehingga diharapkan industri manufaktur Indonesia dapat mencapai di titik posisi dapat bersaing dengan industri manufaktur global baik dari sisi harga maupun kualitas," kata Ekonom Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Fahmi Wibawa.

Relaksasi impor yang tidak menguntungkan tersebut berimbas pada persepsi para pelaku industri dalam negeri. Persepsi kekhawatiran inilah yang ditangkap dalam rilis S&P Global mengenai PMI ini.

"Banyak pelaku industri dalam negeri yang kontraknya dibatalkan imbas dari relaksasi impor yang dilakukan. Dapat dibayangkan jika relaksasi impor terus dilakukan, berapa besar efek domino yang terjadi nantinya. Berawal dari banyaknya manufaktur lokal yang terpaksa gulung tikar karena ketidakmampuan bersaing, meningkatnya jumlah pengangguran, nilai rupiah yang semakin lemah imbas dari tingginya kuota impor, hingga melemahnya kepercayaan investor akibat turunnya nilai mata uang rupiah," tutur Fahmi.


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Tarif Resiprokal Resmi Berlaku, Mendag Masih Nego ke AS