Bukan 5,68%, Manufaktur RI Harusnya Tumbuh 6%-Ini Alasan Kemenperin

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
06 August 2025 16:40
Juru Bicara (Jubir) Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief. (CNBC Indonesia/
Chandra Dwi Pranata)
Foto: Juru Bicara (Jubir) Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief. (CNBC Indonesia/ Chandra Dwi Pranata)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) optimistis pertumbuhan manufaktur RI seharusnya bisa tumbuh 6%, melampaui capaian kuartal II tahun 2025 yang mencapai 5,68% secara tahunan. Hanya saja, Juru Bicara (Jubir) Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, pertumbuhan 6% bisa tercapai bukan tanpa syarat.

Syarat itu, kata dia, kebijakan yang lebih ramah pelaku industri. Seperti, kebijakan pengendalian impor, kemudahan mendapatkan bahan baku untuk industri, dan kebijakan entry point atau pembatasan barang impor.

"Kalau ingin pertumbuhan manufaktur lebih besar lagi dari 5,68% atau mungkin bisa sampai di atas 6%, ya perlu diterbitkan kebijakan pro-industri," kata Febri saat ditemui wartawan usai pertemuan Menperin RI Agus Gumiwang Kartasasmita dengan Menteri Luar Negeri Belarusia, Rabu (6/8/2025).

Adapun terkait kebijakan entry point, Febri menjelaskan kebijakan ini dapat dilakukan dengan cara pembatasan barang-barang impor dan diarahkan untuk dikirim ke pelabuhan tertentu saja.

"Nah, kalau kebijakan-kebijakan itu ada, maka kami memprediksi pertumbuhan industri mungkin bisa lebih tinggi dari 5,68%," ucapnya.

Terkait data pertumbuhan industri yang melampaui pertumbuhan ekonomi saat PMI manufaktur dan IKI di bulan Juli berada di zona kontraksi, Febri menegaskan,  data yang diungkap oleh pemerintah sesuai dengan kinerja manufaktur.

"Data pertumbuhan manufaktur lebih tinggi dari data pertumbuhan ekonomi nasional itu angka yang wajar ya, sebenarnya bisa dilihat dari kinerja manufaktur," bebernya.

"Kemenperin juga sudah mengeluarkan data IKI (Indeks Keyakinan Industri), di mana pada kuartal II-2025 kembali ekspansif yakni mencapai 5,68%," lanjut Febri.

Indikator lainnya juga mendukung sektor manufaktur kembali bertumbuh seperti ekspor non-migas yang juga ekspansif, impor barang modal yang digunakan untuk investasi sesuai laporan BPS.

"Kita lihat ekspor non-migas yang juga ekspansif. Investor melaporkan ke kami sudah membangun fasilitas produksi yang baru dengan nilai Rp 800 triliun, dan impor barang modal yang dilaporkan BPS itu juga besar," ujar Febri.

"Berdasarkan indikator-indikator itu ya wajar kalau seandainya pertumbuhan manufaktur, terutama industri pengolahan non-migas itu sebesar 5,68%. Lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional," tambahnya.

Bahkan menurutnya, pertumbuhan manufaktur bisa saja lebih tinggi hingga mencapai 6%, jika ada kebijakan yang lebih ramah kepada pelaku industri seperti kebijakan pengendalian impor, kemudahan mendapatkan bahan baku untuk industri, dan kebijakan entry point atau pembatasan barang impor.

"Kalau ingin pertumbuhan manufaktur lebih besar lagi dari 5,68% atau mungkin bisa sampai di atas 6%, ya perlu diterbitkan kebijakan pro-industri," ungkapnya.

Adapun terkait kebijakan entry point, Febri menjelaskan kebijakan ini dapat dilakukan dengan cara pembatasan barang-barang impor dan diarahkan untuk dikirim ke pelabuhan tertentu saja.

"Nah, kalau kebijakan-kebijakan itu ada, maka kami memprediksi pertumbuhan industri mungkin bisa lebih tinggi dari 5,68%," terangnya.

Industri Manufaktur Tumbuh Lampaui Pertumbuhan Ekonomi

Sebelumnya, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, sektor industri pengolahan RI pada kuartal II tahun 2025 tumbuh 5,68% secara tahunan, melampaui capaian pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di angka 5,12%.

Sepanjang semester I tahun 2025, industri pengolahan tercatat mengalami pertumbuhan positif sebesar 5,12%.

"Hal ini menunjukkan sektor manufaktur tetap menjadi tulang punggung dan motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia," katanya dalam keterangan resmi, Selasa (6/8/2025).

"Jika kita bandingkan, pertumbuhan pada triwulan II 2025 ini jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2025 sebesar 4,55 persen, bahkan jauh lebih tinggi dari triwulan II tahun lalu sebesar 3,95 persen," tambahnya.

Menurutnya, pertumbuhan itu didorong oleh peningkatan permintaan baik dari dalam negeri maupun pasar ekspor.

"Beberapa subsektor bahkan mencatatkan pertumbuhan yang sangat tinggi. "Industri logam dasar tumbuh sebesar 14,91 persen, didorong oleh meningkatnya permintaan luar negeri terutama untuk produk besi dan baja," ungkap Agus.

"Industri kimia, farmasi, dan obat tradisional juga menunjukkan kinerja solid dengan pertumbuhan 9,39 persen. Pertumbuhan ini sejalan dengan meningkatnya permintaan domestik untuk produk kesehatan serta ekspor bahan dan barang kimia," paparnya.

Tak hanya itu, sambung Agus, industri makanan dan minuman, sebagai salah satu andalan sektor manufaktur, cetak pertumbuhan sebesar 6,15%.

"Pertumbuhan ini ditopang oleh tingginya permintaan terhadap produk seperti CPO, minyak goreng, minuman, dan makanan olahan, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri," jelas Agus.

"Kami optimistis bahwa sektor industri manufaktur masih memiliki potensi untuk tumbuh lebih tinggi dan konsisten menjadi penyumbang terbesar bagi perekonomian nasional," pungkasnya.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Terbaru: Manufaktur RI Melambat, 2 Industri Beri Pengaruh Buruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular