Kisah Harita NCKL dari Cuma Punya Tambang Sampai Pabrik Bahan Baterai

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Jumat, 19/07/2024 16:25 WIB
Foto: Pabrik nikel terbesar di dunia yang dimaksud yaitu pabrik nikel sulfat yang merupakan bahan utama penyusun prekursor katoda baterai kendaraan listrik. Pabrik nikel sulfat ini berada di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. (Dok. Harita Group Pulau Obi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel, Roy Arman Arfandy mengungkapkan bagaimana perusahaan memulai usaha hingga akhirnya bisa memproduksi bahan baku komponen baterai mobil listrik.

Roy menjelaskan, sejak tahun 2010 lalu, perusahaan sudah mulai melakukan kegiatan penambangan nikel, tepatnya di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Roy mengatakan, saat itu pihaknya melakukan penambangan dan melakukan ekspor bijih nikel.

Namun, sebelum Indonesia memutuskan untuk memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel yang mulanya harus dilaksanakan pada 2014, pihaknya pun berinisiatif untuk melakukan program hilirisasi, yakni dengan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel.


Akhirnya, pada 2014 perusahaan pun mulai membangun smelter feronikel pertama di Pulau Obi.

"Harita Nickel ini sudah beroperasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, sejak 2010. Di mana saat itu Harita Nickel melakukan penambangan dan melakukan ekspor nickel ore. Sejak dilakukan pelarangan ekspor nickel ore oleh pemerintah, Harita Nickel melakukan inisiatif untuk membangun atau melakukan program hilirisasi dengan membangun smelter ferro nickel pertama di Pulau Obi pada 2014," jelas Roy kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (19/7/2024).

Lebih lanjut, Roy mengatakan smelter tersebut mulai beroperasi pada 2017 lalu dan dilanjutkan dengan ekspansi ke pabrik pengolahan bahan baku untuk ekosistem baterai kendaraan listrik, yakni smelter berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).

"Perusahaan smelter pertama kami sudah beroperasi dari 2017 dan kemudian kami melanjutkan ekspansi ke bahan baku untuk baterai mobil listrik pada tahun 2018," imbuhnya.

Akhirnya, smelter HPAL di bawah pengelolaan anak usaha, PT Halmahera Persada Lygend, smelter HPAL penghasil MHP ini perdana beroperasi pada 23 Juni 2021. Smelter HPAL ini juga berada di Kawasan Industri Pulau Obi. Proyek ini diperkirakan memakan biaya mencapai lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$).

Tak sampai di situ, perusahaan pun kembali berekspansi hingga akhirnya kini memproduksi nikel sulfat.

"Kami juga melanjutkan hilirisasi lebih jauh di mana MHP ini kami proses lebih lanjut mendapatkan produk turunan seperti nickel sulfate dan cobalt sulfate," tambah Roy.

Produk MHP dan nikel sulfat ini merupakan bahan baku untuk pembuatan prekursor katoda baterai kendaraan listrik.

"Dan Indonesia atau khususnya Harita Nickel adalah saat ini menjadi satu-satunya produsen nickel sulfate dan cobalt sulfate di Indonesia," terang Roy.

Roy juga menyebut, permintaan nikel dunia masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan untuk industri lain, seperti industri stainless steel.

"Stainless ini membutuhkan sangat banyak bahan baku yang berbasis nikel khususnya yang disebut nickel pig iron atau feronikel. Nah kami juga memproduksi feronikel ini dan kami menjual kepada pabrik-pabrik stainless steel yang ada di luar negeri," tandasnya.

Seperti diketahui, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel mencatatkan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp5,62 triliun sepanjang tahun 2023, atau meningkat 20% dari tahun sebelumnya.

Capaian laba perusahaan milik milik konglomerat Lim Hariyanto Wijaya ini ditopang oleh pertumbuhan pendapatan sebesar 149% menjadi IDR 23,86 triliun dintahun 2023.

Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan volume penjualan yang lebih tinggi dari bisnis pemrosesan bijih nikel, termasuk smelter baru PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF), yang merupakan fasilitas peleburan saprolit (bijih nikel kadar tinggi) berbasis pirometalurgi (RKEF) yang menghasilkan feronikel.

Ada pula lini produksi tambahan dari PT Halmahera Persada Lygend (HPL), fasilitas pemurnian limonit (bijih nikel kadar rendah) berbasis hidrometalurgi (HPAL) untuk menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik.

Dari lini bisnis pertambangan, Harita Nickel mencatat kenaikan volume penjualan bijih nikel sebesar 98%, atau mencapai 15,38 juta wmt (wet metric ton) dibanding 7,77 juta wmt pada tahun 2022, yang terdiri dari saprolit sebanyak 6,30 juta wmt, naik 235% dari 1,88 juta wmt, dan limonit sebanyak 9,08 juta wmt, naik 54% dari 5,89 juta wmt.

Sedangkan dari lini bisnis pengolahan dan pemurnian nikel. Harita Nickel di FY23 juga membukukan peningkatan produksi feronikel sebesar 300%, dari 25.372 ton di 2022 menjadi 101.538 ton di 2023, dan kenaikan produksi MHP (mixed hydroxide precipitate), yang merupakan bahan baku baterai kendaraan listrik, sebesar 50%, dari 42.310 ton di 2022 menjadi 63.654 ton di 2023.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Hilirisasi Nikel Jadi Kunci RI Bangun Industri Berkelanjutan