
Raksasa Otomotif Dunia Ketar-ketir di China, Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah raksasa otomotif dunia yang beroperasi di China mulai mendapatkan hambatan bisnis. Hal ini diakibatkan adanya biaya produksi yang lebih tinggi dan diferensiasi produk yang tidak memadai bila dibandingkan produk lokal
Perusahaan konsultan AlixPartners menyebut banyak perusahaan mobil asing masih belum mengetahui bagaimana produk mereka dapat menonjol di pasar EV China. Pasalnya, banyak produsen dalam negeri China yang mulai memiliki fitur dan harga yang bersaing.
"Kecuali (merek mobil asing) mengubah pola pikir mereka dalam mengembangkan dan memproduksi mobil menjadi lebih berani mengambil risiko, dan mempertimbangkan bagaimana merancang dan memproduksi mobil berdasarkan first principle, posisi mereka akan semakin berbahaya," kata Stephen Dyer, salah satu pemimpin dan kepala praktik otomotif Asia AlixPartners, kepada CNBC International, Selasa (16/7/2024).
China adalah pasar otomotif terbesar di dunia. Negara ini menjadi pemimpin global dalam pengembangan kendaraan energi baru, yang mencakup mobil bertenaga baterai dan mobil bertenaga hibrida.
Kategori EV perkotaan atau NEV menyumbang lebih dari 40% mobil penumpang baru yang dijual di China. Produsen mobil dalam negeri sebagian besar memimpin penjualan, sementara perusahaan asing masih tertinggal.
Merek mewah Jerman Porsche mengatakan pada Selasa lalu bahwa penjualan di China anjlok sepertiga pada semester pertama tahun ini. Perusahaan menyalahkan konsumen yang "fokus pada penjualan yang berorientasi pada nilai".
Sementara itu, untuk mempertahankan posisi pasar, beberapa perusahaan asing mencoba bermitra dengan merek lokal. Dyer mengutip kemitraan yang ditandatangani Volkswagen dan Xpeng awal tahun ini untuk meluncurkan SUV yang membuat pembuat mobil Jerman itu membeli hampir 5% saham Xpeng.
Awal bulan ini, produsen mobil Jerman BMW meluncurkan Mini-Cooper EV baru di Tiongkok melalui usaha patungannya dengan Great Wall Motor (GWM). Berdasarkan harga di China, harga eceran kendaraan ini mulai dari US$ 26,140 (Rp 423 juta).
Meski begitu, Dyer mengatakan langkah ini masih menyulitkan produsen asing bila tidak melakukan perubahan. Ia menyebut sejumlah produsen China telah mempercepat waktu pengembangan model baru yang lebih cepat dibandingkan perusahaan asing lainnya.
"Produsen NEV China juga telah memangkas waktu pengembangan model-model baru menjadi 20 bulan, yaitu setengah dari waktu 40 bulan yang dibutuhkan oleh merek mobil lama China," menurut penelitian AlixPartners.
Masalah lain yang dihadapi produsen mobil asing adalah persaingan dengan tenaga kerja lokal. Ini disebabkan pekerja China yang lebih bersedia bekerja dalam waktu yang lama.
Diketahui, karyawan EV China bekerja lembur hingga 140 jam per bulan, jauh lebih banyak daripada 20 jam kerja lembur di perusahaan mobil tradisional di seluruh dunia.
"Dengan dorongan tersebut, kami memperkirakan merek China akan menguasai lebih dari 70% pasar NEV China pada tahun 2030, dan menguasai sepertiga pasar otomotif global, atau 9 juta mobil per tahun," tambah Dyer.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS Semprot China soal 'Hantu' Dumping, Babak Baru Perang Dagang?