Propertinomic

Bos Properti Blak-blakan Kritik Sistem Perizinan di RI, Ada Apa?

Damiana, CNBC Indonesia
03 July 2024 20:05
Awal Desember 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat capaian Program Satu Juta Rumah sebanyak 765.120 unit rumah, didominasi oleh pembangunan rumah bagi  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar 70 persen, atau sebanyak 619.868 unit, sementara rumah non-MBR yang terbangun sebesar 30 persen, sebanyak 145.252 unit.
Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, sekitar 20 persen merupakan rumah yang dibangun oleh Kementerian PUPR berupa rusunawa, rumah khusus, rumah swadaya maupun bantuan stimulan prasarana dan utilitas (PSU), 30 persen lainnya dibangun oleh pengembang perumahan subsidi yang mendapatkan fasilitas KPR FLPP, subsisdi selisih bunga dan bantuan uang muka. Selebihnya dipenuhi melalui pembangunan rumah non subsidi oleh pengembang.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengungkapkan, rumah tapak masih digemari kelas menengah ke bawah.
Kontribusi serapan properti oleh masyarakat menengah ke bawah terhadap total penjualan properti mencapai 70%.
Serapan sebesar 200.000 unit ini, akan terus meningkat pada tahun 2018 menjadi 250.000 unit.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan, perizinan masih menjadi tantangan dalam upaya mendorong pembangunan perumahan di Indonesia. Meski saat ini sudah ada Sistem Online Single Submission (OSS) dan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

Apalagi, kata dia, ada 6 kementerian/ lembaga yang memiliki wewenang terkait perumahan.

Joko mengutip data BPS yang mencatat backlog perumahan atau kesenjangan kepemilikan rumah di Indonesia. Di mana, tahun 2010 tercatat backlog perumahan di Indonesia ada 13,5 juta, kemudian turun "tipis" jadi 12,5 juta di tahun 2020. Terbaru, kata dia, hasil Susenas mencatat backlog perumahan di Indonesia kini 10 juta. 

Data itu, kata dia, menunjukkan tidak adanya penurunan signifikan backlog perumahan di Indonesia. Dalam 1 dekade, hanya ada penurunan sekitar 1 juta. Menurut Joko, hal itu dipicu oleh berbagai faktor. Baik dari sisi perizinan, kebijakan, penganggaran, hingga akomodasi oleh institusi yang semestinya bertanggung jawab. 

"Setelah OSS, setelah UU CK memang kita berharap banyak. Tapi ternyata belum bisa berharap banyak. Pada saatnya setelah OSS ini menjadi sebuah sistem, akhirnya ada sistem otomatis, tidak usah bertemu, kemudian ada yang menjaga desk pelayanannya sehingga bisa mempercepat, ternyata itu jauh panggang dari api. Ini menjadi keresahan tersendiri," kata Joko dalam Propertinomic CNBC Indonesia, Rabu (3/7/2024).

"Saat ini ketika berbicara mengenai KLHK, Amdal dan sebagainya, ini juga menjadi cost baru, penundaan secara waktu. Dan itu juga menjadi sesuatu yang jauh dari tujuan dari adanya UUCK ataupun OSS itu. Dari situ sudah bisa menyimpulkan bahwa konsistensi dan uncertainty perizinan masih tinggi," tukasnya.

Padahal, lanjut dia, sektor usaha membutuhkan kepastian. 


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Properti Jadi Proyek Strategis, Bos Pengembang Ungkap Bukti-buktinya

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular