Internasional

3 Kabar Buruk Muncul di Jepang, 'Tsunami' sampai Kontraksi

sef, CNBC Indonesia
02 July 2024 10:00
Bendera Jepang Terlihat di Atas Bank of Japan di Tokyo, Jepang pada 21 September 2016 (REUTERS/Toru Hanai)
Foto: Bendera Jepang Terlihat di Atas Bank of Japan di Tokyo, Jepang pada 21 September 2016 (REUTERS/Toru Hanai)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang adalah salah satu kekuatan ekonomi dunia. Tapi dalam beberapa pekan terakhir, tiga kabar buruk menerpa negara tersebut.

Kemarin, perekonomian Jepang kontraksi lebih besar dari yang dilaporkan pada kuartal pertama (Q1) 2024. Revisi dilakukan pada PDB, Senin waktu setempat.

Pemerintah memberikan pengumuman yang jarang terjadi dan tidak terjadwal. Hal ini mengaburkan prospek pemulihan ekonomi negeri itu.

PDB riil Jepang kontraksi sebesar 2,9% secara tahunan (yoy) pada bulan Januari-Maret. Turun dari perkiraan sebelumnya yaitu turun 1,8%.

PDB riil periode Oktober-Desember juga direvisi turun menjadi pertumbuhan tahunan sebesar 0,1% dibandingkan kenaikan sebelumnya sebesar 0,4%. Sedangkan untuk periode Juli-September direvisi turun menjadi penurunan tahunan sebesar 4,0% dari penurunan sebelumnya sebesar 3,7%.

Pemerintah mengatakan revisi angka PDB untuk Januari-Maret mencerminkan koreksi yang dilakukan pada data pesanan konstruksi.

"Revisi ke bawah kemungkinan akan menyebabkan pemotongan perkiraan pertumbuhan Bank of Japan dalam proyeksi triwulanan baru yang akan dirilis akhir bulan ini dan dapat mempengaruhi waktu kenaikan suku bunga berikutnya," kata ahli.

Yen

Sementara itu, pelemahan terjadi pada Yen, akhir pekan lalu. Bahkan 28 Juni lalu, mata uang yen tercatat melemah ke level terendah sejak 1986 terhadap dolar AS.

Sebenarnya Yen dilemahkan oleh kebijakan moneter Negeri Sakura yang longgar. Kejadian ini pun memicu spekulasi mengenai intervensi baru akan dilakukan pihak berwenang.

Yen sendiri merosot hingga 161.12 terhadap dollar AS. Saat dibuka posisi yen ada di 160.70.

Sebelumnya pejabat mata uang utama negeri Asia itu telah mengucurkan miliaran dana untuk mendukung yen setelah mencapai level terendah dalam 34 tahun di 160,17 di akhir April. Namun dengan efek terbatas.

Jepang sendiri telah menaikkan suku bunga tahun ini ke kisaran 0 hingga 0,1%, dan mengakhiri kebijakan suku bunga negatif sejak Maret. Sementara suku bunga AS sendiri berada di kisaran 5,25% hingga 5,5%.

Ini membuat investor berbondong-bondong mencari imbal hasil yang lebih tinggi pada aset dolar. Sehingga menaikkan nilai mata uang terhadap yen.

Ada kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut dari Bank of Japan pada akhir Juli, yang dapat membantu mendukung yen. Namun reli yang bertahan lama kemungkinan akan memerlukan penurunan suku bunga Federal Reserve (The Fed).

Sementara itu, dari data CNBC Riset, Senin, yen Jepang kembali turun ke 161.45 terhadap dolar AS. Pada pembukaan Selasa ini, yen tercatat di 161.62 terhadap Greenback.

'Tsunami' PHK

Sebelumnya, gelombang kebangkrutan usaha melanda Jepang. Tercatat, ada 1.009 perusahaan di Negeri Sakura yang gulung tikar pada bulan Mei 2024.

Mengutip Asahi akhir Juni, jumlah tersebut melampaui angka 1.000 untuk pertama kalinya dalam sebulan dalam lebih dari satu dekade sejak Juli 2013. Secara tahunan, ada peningkatan sebesar 42,9% dibandingkan Mei 2023.

Perusahaan riset kredit swasta, Tokyo Shoko Research, mengatakan bahwa secara nilai keuangan, total utang perusahaan yang bangkrut pada bulan Mei berjumlah 136,7 miliar yen atau setara Rp 14,2 triliun (kurs Rp 103).

Lembaga itu mengatakan gelombang kebangkrutan ini disebabkan oleh melemahnya yen dan biaya yang lebih tinggi. Dicabutnya stimulus pinjaman Covid-19 yang dikenal sebagai pinjaman 'zero-zero' juga bermuara pada gugurnya ribuan bisnis ini.

"Kebangkrutan meningkat dari tahun ke tahun di semua industri khususnya karena tingginya harga setelah pandemi Covid-19," tulis lembaga itu dalam sebuah pemaparan.

Bila dirinci, ada jumlah kebangkrutan terkait virus corona melampaui 300 dan mencapai 302 pada bulan Mei tahun ini. Ini adalah pertama kalinya dalam satu tahun jumlahnya melebihi 300.

Sementara itu, dari yang diakibatkan oleh melemahnya yen, tercatat ada 87 perusahaan yang bangkrut. Mereka mengeluhkan melemahnya yen mendorong kenaikan biaya impor seperti bahan mentah dan pasokan energi, sehingga memberikan tekanan pada keuntungan perusahaan kecil dan menengah.

"Di antara kebangkrutan yang disebabkan oleh tingginya harga minyak, angka kebangkrutan yang paling tinggi terutama terjadi pada industri konstruksi dan manufaktur," tambah Tokyo Shoko Research.

Lebih lanjut, Tokyo Shoko Research memprediksi bahwa ke depan Jepang kemungkinan masih akan mengalami gelombang kebangkrutan. Pasalnya, biaya pasca Covid-19 terus menunjukkan tren kenaikan.

"Sangat mungkin jumlah kebangkrutan akan terus meningkat," papar perusahaan riset itu lagi.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Warning Baru Soal Keuangan Jepang, Kenapa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular