
Terungkap! Ini Alasan 2 Raksasa Eropa Cabut dari Proyek RI Rp42 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua perusahaan 'raksasa' asal Eropa yakni Eramet dan BASF memutuskan untuk tidak melanjutkan investasi bersamanya di Indonesia dalam pengembangan pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku.
Menanggapi hal itu, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memberikan respon atas hengkangnya Eramet dan BASF dari proyek nikel-kobalt di Indonesia.
Bahlil beralasan, saat ini pasar mobil listrik di Eropa sedang mengalami penurunan termasuk di Amerika yang menerapkan pajak impor untuk mobil listrik sebesar 100% khususnya pajak mobil impor dari China.
"Akibat pasarnya lagi turun, mereka mengerem. Jadi bukan batal, menunda sementara, menunda sementara sampai dengan kondisi pasar global sudah bagus. Karena begitu mereka investasi produksi, kalau marketnya tidak diserap, kan kasihan juga mereka," jelas Bahlil saat ditemui di Peresmian Pengoperasian Smelter Tembaga PT Freeport Indonesia, di Gresik, Jawa Timur, dikutip Jumat (27/6/2024).
Oleh karena itu, Bahlil menegaskan, bahwa pemerintah akan melakukan penyesuaian. Sebab, ekonomi global saat ini tidak bisa dipastikan apa yang akan terjadi, termasuk persaingan mobil listrik yang sangat kompetitif.
"Harga mobil listrik China itu murah-murah semua. Teman-teman kan bisa lihat Tesla bagaimana dia melakukan PHK terhadap sekian banyak karyawannya. Kemudian proses penjualan dia yang tidak terlalu maksimal. Karena memang mereka kalah saing dengan harga mobil China," ungkap dia.
Dengan begitu, dia mengungkapkan atas dasar pasar mobil listrik yang tengah turun tersebut, pemerintah saat ini mengambil sikap untuk melakukan penyesuaian dan tidak 'memaksakan' investasi asing harus masuk di Indonesia untuk pengembangan ekosistem kendaraan listrik termasuk pabrik pembuatan baterainya.
"Kita melakukan penyesuaian, karena memang ekonomi global sekarang kan lagi tidak bisa memastikan apa yang terjadi," tandasnya.
Asal tahu saja, Mengutip mining technology, sejatinya Eramet atau perusahaan asal Prancis ini dan BASF asal Jerman sudah menandatangani perjanjian dalam study kelayakan pembangunan pabrik nikel-kobalt pada tahun 2020.
Pabrik ini dibangun untuk memperkuat rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV). Nilai investasi yang melibatkan kedua perusahaan untuk membangun smelter nikel-kobalt di Weda Bay itu berkisar US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 41 triliun.
Adapun alasan hengkangnya kedua perusahaan tersebut lantaran, pertumbuhan penjualan baterai EV di negara Asia Tenggara terbilang lambat.
Terlepas dari kemunduran tersebut, Eramet diklaim masih berkomitmen untuk mengevaluasi potensi investasi lain di sektor nikel Indonesia untuk baterai EV dan berniat untuk terus memberikan informasi terbaru kepada para pemangku kepentingan mengenai perkembangannya.
Di sisi lain, BASF telah menyatakan bahwa mereka akan menghentikan semua kegiatan yang sedang berlangsung terkait dengan proyek Weda Bay.
"Pasokan bahan baku penting yang aman, bertanggung jawab dan berkelanjutan untuk produksi bahan aktif katoda prekursor, yang mungkin juga berasal dari Indonesia, tetap penting untuk pengembangan masa depan bisnis bahan baterai kami." terang Presiden divisi BASF Catalysts, Dr Daniel Schonfelder, mengutip MiningTechnology berdasarkan laporan Bloomberg, Rabu (26/6/2024).
"Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kami telah menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay," ungkap Anggota Dewan Direktur Eksekutif BASF, Anup Kothari.
Di menambahkan, sejak dimulainya proyek di Weda Bay itu, pasar nikel global telah berubah secara signifikan. Secara khusus, opsi pasokan telah berevolusi dengan ketersediaan nikel kelas baterai BASF. "Akibatnya, BASF tidak lagi melihat perlunya melakukan investasi yang begitu besar untuk memastikan pasokan logam yang kuat untuk bisnis bahan baterainya."
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pabrik Baterai Mobil Listrik Pertama RI Siap Beroperasi April-Mei 2024
