
"Kiamat" Baru Ancam Thailand, Warga Keburu Tua Sebelum Jadi Kaya

Jakarta, CNBC Indonesia - "Kiamat" baru ancam Thailand. Ini bukan terkait perubahan iklim melainkan berkurang dramatisnya populasi di negeri itu.
Thailand kini menjadi salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk usia lanjut tercepat di dunia. Populasi kerajaan tersebut mungkin akan berkurang setengahnya sebelum pergantian abad ini.
Menurut survei National Institute of Development Administration September 2023 lalu, 44% responden di Thailand menyatakan kurangnya keinginan untuk punya anak. Alasan utama yang disebutkan adalah biaya membesarkan anak, kekhawatiran tentang dampak kondisi masyarakat terhadap anak-anak, dan tidak ingin menanggung beban mengasuh anak.
Keengganan ini tercermin dalam tingkat kesuburan Thailand, yang mencapai 1,08 tahun lalu. Angka itu terendah kedua di Asia Tenggara setelah Singapura 0,97 tahun lalu.
Wakil Perdana Menteri Somsak Thepsutin memperingatkan bahwa jika kerajaan itu terus berada di lintasan ini, populasinya dapat berkurang setengahnya dari 66 juta saat ini menjadi 33 juta, dalam waktu 60 tahun. Meskipun tingkat kesuburan yang menurun merupakan fenomena global, Thailand akan menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di masa mendatang.
Menjadi Tua Sebelum Kaya
Laporan media Singapura, CNA menyebut Thailand sudah menonjol dari negara-negara tetangganya soal "kiamat" populasi ini sejak dulu. Dengan tingkat pembangunan yang sama, negara-negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, bahkan Indonesia memiliki tingkat kesuburan lebih baik 2,1 kelahiran per wanita.
Ini terjadi sejak 1970. Kala itu Thailand meluncurkan program keluarga berencana nasionalnya dengan tujuan untuk memoderasi pertumbuhan penduduk dan mendorong kemajuan ekonomi.
Pada tahun 1976, program tersebut tidak hanya menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk menjadi 2,55%, tetapi juga melampaui target penerimaan kontrasepsi sebesar 26%. Keberhasilan ini bertahan lama, dengan hampir tiga dari empat wanita yang sudah menikah saat ini menggunakan kontrasepsi.
Tiffany Chen, seorang ahli eksperimen kebijakan di Laboratorium Kebijakan Thailand Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa kesuksesan ini bisa dikaitkan dengan agama. Sebagai negara mayoritas Buddha, 95%, bentuk-bentuk pengendalian kelahiran memang dianjutkan.
Ini berbeda dengan negara-negara tetangga yang memeluk agama Islam atau Katolik. Seringkali negara-negara degan mayoritas itu melarang kontrasepsi.
"Dibandingkan dengan beberapa negara lain, sikap tradisional terhadap patriarki juga telah berubah di Thailand," kata seorang profesor di Institut Penelitian Kependudukan dan Sosial Universitas Mahidol, Sutthida Chuanwan,
Saat ini, jumlah perempuan di Thailand melebihi laki-laki dalam hal memperoleh pendidikan tinggi. Perempuan juga banyak yang berpartisipasi dalam angkatan kerja melebihi perempuan di Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
"Hal ini sebenarnya membatasi jumlah anak yang cenderung dimiliki perempuan, dibandingkan dengan mereka yang mungkin menjadi ibu rumah tangga dan hanya tinggal di rumah," kata direktur penelitian kebijakan ekonomi dan pembangunan internasional di Institut Penelitian Pembangunan Thailand, Kirida Bhaopichitr.
Pertumbuhan ekonomi negara sebenarnya tidak menghambat prospek pernikahan di sini.Warga tetap banyak yang menikah, dengan tingkat yang stabil selama satu dekade.
Ini berbeda dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, (Korsel) di mana angka pernikahan menurun dan kemudian berimbas ke kelahiran. Pasangan suami istri Thailand lebih memilih untuk tidak memiliki anak, baik untuk sementara atau permanen.
"Perlu disadari berbeda dengan Jepang dan Korsel, Thailand dianggap sebagai negara dengan perekonomian berkembang. Artinya, negara ini bisa menjadi negara pertama yang mengalami menjadi tua sebelum (menjadi) kaya," sebutnya lagi.
Warning Bagi Pemerintah
Sementara itu, populasi yang menua tidak hanya menandakan penurunan angka kelahiran tetapi juga peningkatan demografi lansia. Di Thailand, lansia berusia 60 tahun ke atas sudah mencakup seperlima populasi.
Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional melaporkan bahwa 41,4% warga lanjut usia memiliki tabungan kurang dari 50.000 baht (sekitar Rp 22 juta) pada tahun 2021, dengan 78.3% berpenghasilan kurang dari 100.000 baht (Rp 44 juta0 per tahun. Sebagai perbandingan, dibutuhkan tabungan sekitar 4,3 juta baht untuk masa pensiun di kota.
Sebenarnya Thailand memiliki sekitar 13 juta warga berusia 60 tahun ke atas. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Thailand mengalokasikan hampir 78 miliar baht pada tahun lalu untuk Tunjangan Hidup Hari Tua, sebuah program subsidi bulanan hingga 1.000 baht untuk warga lanjut usia yang bukan pensiunan atau penerima kesejahteraan.
Namun, seiring dengan meningkatnya populasi lansia, inisiatif ini akan semakin membebani anggaran pemerintah. Proyeksi menunjukkan bahwa Thailand dapat bertransisi menjadi masyarakat lanjut usia, dengan jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas setidaknya mencapai 28 persen dari total populasi, pada tahun 2033 atau lebih awal.
Pergeseran demografis ini akan memerlukan sejumlah besar biaya terkait perawatan lansia. Salah satunya untuk perawat, pengobatan berkualitas, perawat khusus, dan ahli terapi fisik.
Anak-anak dewasa juga mulai merasakan hal tersebut tersebut. Mengasuh orang tua dan diri mereka sendiri hanya menyisakan sedikit uang bagi keturunannya di masa depan.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article "Resesi Seks" Buat Ketar-ketir Tetangga RI, Ekonomi Thailand Warning
