Pesona Subak Jatiluwih yang Sarat Nilai Budaya Leluhur
Tabanan, CNBC Indonesia - Subak Jatiluwih menjadi salah satu contoh sistem pengairan sawah yang khas sejak ratusan tahun. Kebijaksanaan warisan nenek moyang masih dipegang teguh untuk mengatur sistem perairan yang berkeadilan.
Pekaseh Subak Jatiluwih I Wayan Mustra mengungkapkan wilayah ini masih memegang teguh budaya dari nenek moyang, berbeda dengan subak lainnya yang mulai mengalihkan fungsi lahan, dari pertanian ke pariwisata.
"Jadi kita pakai sistem tektekan untuk pembagian air sesuai jumlah anggota. Tata kelola air di subak Jatiluwih terdiri dari saluran primer dan tersier yang kemudian akan dibagikan ke masing-masing kelompok," kata dia kepada CNBC Indonesia.
Wayan menegaskan budaya subak yang masih dilaksanakan dan berusaha melestarikannya sehingga menarik perhatian dunia. Pembagian air ini yang menjadi pusat perhatian dunia karena memiliki hal yang berbeda.
Dalam pembagian air subak tidak mengenal skala prioritas atau sistem buka tutup, melainkan sesuai jumlah anggota keluarga. Dengan begitu tidak ada kecemburan sosial dan adil.
"Ini warisan nenek moyang dan kita tidak mau mengubah sistem dan kita komitmen melakukan itu," kata dia.
Dengan menerapkan Tri Hite Karana, warga Jatiluwih tetap mempertahankan nilai leluhur. "Keharmonisan dengan Tuhan dan keharmonisan dengan tumbuhan. Itu yang kami terapkan disini," tambahnya.
Dalam proses sebuah musim tanam ada 15 upacara tahapan yang harus diikuti. Menurutnya tradisi ini mengurangi potensi gagal panen yang kerap terjadi pada masa perubahan iklim seperti saat ini.
"Kita di 2015 pernah 70% tidak bisa tanam karena kekeringan. Debit air memang menurun tapi sekarang masih dapat dilakukan pola tanam seperti sekarang," kata Wayan.
Meski demikian, sebagai warisan budaya dunia, petani Jatiluwih mengharapkan peran pemerintah untuk menahan alih fungsi dari lahan pertanian ke pariwisata sepenuhnya. Dia menegaskan di subak Jatiluwih berkomitmen tidak akan melakukan alih fungsi lahan.
"Kami berharap pertanian ini berkelanjutan dan mereka mengetahui budaya subak," kata dia.
Dari sisi irigasi, dia mengharapkan ada optimalisasi saluran di tengah perubahan cuaca yang ekstrim.
Budaya pertanian Subak Jatiluwih juga soal kekompakan mereka dalam bertani dan menjaga lingkungan. Hal ini tercermin dari pertanian organik yang ditargetkan mencapai 100% pada 2026.
Wayan mengatakan saat ini baru 30% pertanian organik yang diterapkan di Jatiluwih. Selain lebih berkelanjutan, praktik ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk pemerintah.
Perbedaan dengan subak lainnya, adalah petani menanam dan memanen secara serentak, bahkan tanaman padi yang ditanam juga wajib jenis beras merah saat masa tanam musim hujan.
Saat musim tanam bulan Desember seluruh petani memiliki waktu seminggu untuk masa penanaman. Mereka akan merawat sawahnya hingga Mei ketika padi mulai menguning dan Juni mulai panen.
Jatiluwih yang khas dengan beras merah ini menghasilkan produk dua kali lipat dari beras biasa. Dalam sekali panen petani bisa mendapat 5-6 ton beras merah per hektare. Tinggi tanaman padi yang menghasilkan beras merah sekitar 2 meter, sedangkan padi biasa hanya 1 meter.
Wilayah yang saat ini menjadi salah satu daya tarik wisata Pulau Dewata itu kini terus dikembangkan. Hal ini menjadi menarik apalagi akan diadakannya perhelatan akbar World Water Forum. Sehingga nantinya para delegasi yang hadir di pertemuan ini bisa melihat keanekaragaman budaya terutama yang terkait air dan juga keindahan Pulau Dewata.
Sebagai informasi, World Water Forum ke-10 akan berlangsung 18-25 Mei 2024 di Bali dengan tema Water for Shared Prosperity atau Air untuk Kesejahteraan Bersama. Adapun untuk informasi lebih lengkapnya bisa kunjungi halaman resmi World Water Forum.
(dpu/dpu)