Harga Gula Meledak ke Atas Rp18.000/ Kg, Petani Salahkan Pemerintah

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
Kamis, 16/05/2024 15:10 WIB
Foto: Pantauan stok dan harga gula pasir di gerai Diamond Bekasi, Minggu (12/5/2024). (CNBC Indonesia/Damiana Cut Emeria)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen mengatakan, kebijakan pemerintah dalam melakukan relaksasi harga acuan penjualan (HAP) gula di tingkat konsumen justru membuat harga gula terus mengalami kenaikan. Sementara di saat yang sama, pemerintah juga tidak memiliki stok cadangan gula nasional, sehingga tidak bisa mengintervensi harga saat harga gula tengah melambung tinggi.

Menurutnya, HAP itu merupakan harga acuan bukan merupakan harga pasti seperti halnya harga eceran tertinggi (HET), sehingga di dalam HAP sendiri ada batas toleransi. Jika pemerintah terus melakukan relaksasi HAP itu justru akan mengerek harga gula, sehingga harganya naik, namun sulit untuk bisa turun.

"Karena HAP itu sebetulnya malah naikin harga. Harga ini akan terus begitu, karena pemerintah ngatur harga pasar dengan penerapan HAP yang diperlakukan sebagai HET. Padahal pada saat yang sama pemerintah tidak memiliki atau menguasai barang-nya," kata Soemitro kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/5/2024).


Namun fakta di lapangannya, lanjut dia, karena ritel ketakutan menjual di atas HAP, meskipun HAP sendiri memiliki batas toleransi, sehingga pemerintah beberapa kali melakukan relaksasi. Padahal, menurut dia, itu bukan merupakan langkah atau solusi yang tepat.

"Ketika HAP Rp16.000 per kg, ritel ini jual Rp17.000 per kg nggak berani, karena dianggap melanggar HAP. Di mana pelanggaran nya? Orang itu harga acuan. HAP ini sudah salah diterapkan, karena HAP diterapkan sebagai HET. Harusnya kalau HAP itu boleh naik dan boleh turun. Naiknya berapa? Dalam suatu forum rapat disepakati naiknya bisa 15%. Kalau 15%, taruhlah itu harganya Rp16.000 per kg, ah taruhlah 10% saja, kalau naik 10% ya paling dia Rp17.500 per kg. Jadi ngapain diatur HAP-nya dinaikin, bilang saja ini toleransinya 10-15%, selesai kan?" terang dia.

"Jadi dia (ritel) belinya Rp16.500 dijual Rp17.500 per kg, nggak apa-apa, ini masih dalam batasan toleransi. Jadi fleksibel, tidak turun naik diatur. Kesepakatan harga itu belum tentu pasti naik, bisa juga turun, kalau ada persaingan orang pada jual semuanya, kan bisa turun harga ini, ngapain diatur-atur. Biarkan harga pasar berjalan sendiri secara alami," sambungnya.

Kuasai Stok

Panel Harga Badan Pangan mencatat, harga gula hari ini, Kamis (16/5/2024), turun Rp10 ke Rp18.370 per kg. Sepekan lalu, 9 Mei 2024, harga gula tercatat di Rp18.400 dan terpantau sempat berulangkali naik ke level tertinggi di Rp18.410.

Harga tersebut adalah rata-rata harian nasional di tingkat pedagang eceran.

Harga gula terus mengalami kenaikan sejak Agustus 2023 lalu, dan sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Untuk itu, Soemitro mengingatkan agar pemerintah tetap menguasai stok gula nasional, jika ingin mengendalikan harga. Stok itu nantinya bisa digunakan untuk intervensi harga di kala harga gula tengah melambung tinggi. Bukannya seperti sekarang ini, di mana harga tinggi dilakukan relaksasi harga, padahal pemerintah bisa melakukan intervensi dengan cara operasi pasar seperti halnya komoditas beras.

"Pemerintah harus pegang stok barang kalau mau kendalikan harga. Pemerintah ini nggak pegang stok barang, jadi diatur bagaimanapun juga, itu kalau terjadi naik ritel nggak akan berani jual di atas HAP, karena itu akan berurusan dengan satgas pangan. Itulah yang menjadi penyebab ketika terjadi kenaikan alami di pasar," jelasnya.

Apabila pemerintah memiliki stok gula nasional, dan ketika terjadi lonjakan harga dilakukan operasi pasar, maka tak perlu menunggu lama agar gula itu bisa kembali normal.

"Nggak usah nunggu lama, pasti itu harga gula di pasaran akan turun. BUMN pangan itu jangan hanya diperintahkan untuk impor mencukupi kekurangan stok nasional, tapi dia juga seharusnya dikasih izin impor untuk dijadikan cadangan nasional," cetus Soemitro.

"Jadi impor atau belinya itu bukan hanya di masa-masa tertentu, tapi beli gulanya itu pada saat harga turun, lalu habis itu disimpan dan dikeluarkan saat harga di pasaran sedang tinggi, intervensi harga," pungkasnya.


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pak Prabowo, Efisiensi Bikin Hotel Merana & PHK di Depan Mata