Kas Negara Surplus, Kantong Kelas Menengah RI Makin Tepos

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Selasa, 26/03/2024 15:25 WIB
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan saat konferensi pers APBN KiTa di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (25/3/2022). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah kalangan ekonom menyarankan pemerintah untuk segera menggencarkan belanja negara untuk menopang tekanan daya beli yang dialami masyarakat saat ini, khususnya kelas menengah.

Diantaranya melalui insentif fiskal berupa pengurangan pajak, karena anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus menerus surplus tiga bulan pertama tahun ini. Hingga 15 Maret 2024 surplusnya Rp 22,8 triliun, Februari 2024 surplus Rp 26 triliun, dan Januari surplus Rp 31 triliun.


Bahkan, pada keseluruhan tahun 2023, APBN untuk pertama kali mengalami surplus keseimbangan primer sebesar Rp 92,2 triliun. Keseimbangan primer surplus ini baru pertama kalinya terjadi setelah 2012 atau selama 12 tahun beruntun defisit sejak saat itu.

Salah satu ekonom yang menyampaikan usulan itu ialah Senior Analyst dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita. Menurutnya, ruang fiskal itu bisa dimanfaatkan untuk menopang daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah yang selama ini tak mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

"Tentu pemerintah juga bisa memberikan insentif dan relaksasi fiskal atas penjualan produk-produk durable good, baik dengan pengurangan pajak maupun dengan pelonggaran persyaratan," ucap Ronny kepada CNBC Indonesia, Selasa (26/3/2024).

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, selain berupa insentif pajak, ruang fiskal yang longgar di awal tahun ini juga bisa digunakan pemerintah untuk memberi bantuan sosial bagi kalangan kelas menengah, sebagaimana pemberian bansos selama ini yang menopang daya beli kelas bawah atau masyarakat miskin.

"Jika ruang fiskal longgar pemerintah mulai bisa mempertimbangkan untuk mendorong pemberian bansos untuk kelompok pendapatan menengah," tegas Yusuf.

Ekonom dari Universitas Indonesia yang juga merupakan Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi bahkan menilai, kebijakan fiskal berupa pajak pemerintah selama ini memang menjadi salah satu faktor yang menekan daya beli masyarakat kelas menengah saat pendapatan mereka tergerus inflasi, seperti inflasi pangan.

Inflasi harga pangan bergejolak atau volatile food per Februari 2024 mencapai 8,47% secara tahunan atau year on year (yoy) lebih tinggi dari kenaikan UMR rata-rata 4,9% pada 2020-2024, berdasarkan catatan Bank Indonesia. Mengakibatkan kenaikan gaji masyarakat yang bekerja di sektor informal tak setinggi kenaikan harga pangan.

Belum lagi harga-harga barang berpotensi naik pada tahun depan karena rencana kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% dari yang saat ini 11%. Alih-alih secara signifikan menaikkan penerimaan negara, kebijakan tarif pajak itu menurutnya akan semakin membebani daya beli masyarakat.

"Karena kemarin kan naik dari 10% ke 11% revenue kita enggak naik signifikan, karena banyak yang enggak patuh submitting tax nya. Misal di restoran dan lain-lain tertera PPN 11% tapi disetorin apa enggak, kan banyak yang enggak," ucap Fithra.

"Makanya signifikansinya enggak tinggi tapi di masyarakat sudah berdampak harganya menjadi lebih tinggi kan, nah padahal mereka tadi dari sisi income growth nya enggak tinggi-tinggi banget harganya malah naik, consumer spendingnya malah turun," tegas Fithra.

Oleh sebab itu, Fithra mengusulkan supaya ada rileksasi kebijakan dari sisi insentif fiskal, meski ia meyakini dampaknya tidak signifikan bagi kalangan menengah atas. Sebab, yang menjadi penopang kepercayaan mereka untuk konsumsi ialah pekerjaan yang memadai untuk mendapatkan pendapatan atau gaji tinggi serta stabilitas harga.

"Kebijakan pajak sebetulnya buat middle class enggak terlalu signfikan, jadi buat mereka itu sekarang diperlukan pekerjaan yang layak dan kebijakan2 yang tidak disruptif. Apakah pengurangan PPh misalnya membantu? ya untuk some extent tapi mungkin tidak sangat membantu karena sebenarnya mereka banyak yang di informal sectors, bahkan itu enggak kena PPh," ujar Fithra.

Kondisi kelas menengah Indonesia kini tengah tertekan hingga mendapat perhatian khusus dari Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, barang-barang yang biasa dikonsumsi kelas menengah, yakni durables goods seperti motor dan mobil penjualannya anjlok lebih dari enam bulan berturut-turut.

Sri Mulyani mengatakan, penjualan mobil telah terkontraksi delapan bulan berturut-turut hingga akhir Februari. Penjualannya minus 18,8% secara tahunan atau year on year. Sementara itu, penjalan sepeda motor telah terkontraksi selama enam bulan berturut-turut hingga ke level minus 2,9%.

Data Mandiri Spending Index menunjukkan hal serupa. Belanja kelompok menengah terbilang stagnan dengan angka indeks per Maret 2024 sebesar 183,5 dari Januari 2024 di kisaran atas 100, bahkan turun dibanding angka indeks pada Desember 2023 di level atas 200. Jauh di bawah tren belanja kelas bawah yang mencapai 306,1 angka indeksnya dari tren pada Januari 2024 di kisaran atas 150.

Chatib memang kerap kali dan telah lama menyoroti secara khusus kondisi kelas menengah. Ia berbicara mulai dari potensi risiko tekanan kelas menengah terhadap stabilitas politik hingga sosial, maupun sarannya terhadap pemerintah untuk segera mengurus ekonomi kelas menengah, dengan cara pemberian perlindungan sosial untuk kalangan itu, tak hanya bagi kelas menengah ke bawah ataupun miskin.

Misalnya, ia membahas topik terkait permasalahan kelas menengah yang harus diurus itu saat menjadi pembicara di acara Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada awal tahun ini.

Saat itu, Chatib Basri mengatakan pemerintah perlu mulai turut fokus memperhatikan kondisi ekonomi dan kepentingan kelas menengah Indonesia. Chatib menyinggung fenomena The Chilean Paradox ketika kepentingan kelas menengah terabaikan oleh pemerintah yang terlalu fokus pada kelompok miskin atau kelas menengah ke bawah saja. Chile hampir mengalami krisis besar berupa revolusi akibat kelas menengah terabaikan saat ekonominya mengalami perbaikan.


(arm/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Sempat Oleng, Singapura Selamat dari Resesi