Harga BBM Subsidi Ditahan, Pemerintah Harus Lakukan ini ke Pertamina

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
08 March 2024 11:55
Sejumlah kendaraan antre untuk mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di SPBU kawasan Jakarta, Rabu (1/3/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Sejumlah kendaraan antre untuk mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di SPBU kawasan Jakarta, Rabu (1/3/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah belum lama ini memastikan bahwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tarif listrik, baik subsidi dan non subsidi, tidak akan naik hingga Juni 2024 mendatang.

Lantas, bagaimana dampak dari kebijakan ini?

Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development INDEF, Abra El Talattov menilai, kebijakan ini harus diikuti dengan pemberian kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penyedia BBM, yakni PT Pertamina (Persero).

Pasalnya, harga jual saat ini dinilai masih lebih rendah dari harga pasar, terutama karena pertimbangan faktor nilai tukar rupiah (kurs) dan harga minyak mentah dunia kemungkinan masih akan meningkat.

"Konsekuensinya bilamana nanti ternyata harga keekonomian dari BBM itu meningkat ya seiring dengan adanya tren kenaikan harga minyak mentah dalam beberapa waktu terakhir ya tentu ini juga pemerintah harus berkomitmen ya memberikan kompensasi terhadap selisih harga BBM tadi ya, terutama untuk BBM jenis JBKP atau Pertalite," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (8/3/2024).

Abra menilai, di samping pertimbangan kompensasi yang harus diberikan pemerintah kepada Pertamina sebagai badan usaha penyalur BBM bersubsidi, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kuota BBM bersubsidi Pertalite yang terbatas.

"Sementara kan persoalannya kompensasi ini kan untuk JBKP ini kan ada kuotanya ya, yang kedua pemerintah masih belum merevisi Perpres 191/2014 mengenai pembatasan distribusi BBM bersubsidi. Sehingga tadi risikonya memang akan ada ya potensi tambahan anggaran subsidi anggaran kompensasi BBM," jelasnya.

Dengan begitu, dia menilai pemerintah perlu bersikap realistis terhadap kebijakan harga BBM yang akan ditahan hingga Juni 2024 mendatang. Abra mengatakan, pemerintah juga perlu menyiapkan kompensasi dan perhitungan kuota BBM Pertalite yang matang.

"Nah saya pikir ini juga mestinya jadi momentum juga buat pemerintah melakukan penyesuaian atau revisi APBN 2024, khususnya dalam sumber alokasi potensi adanya tambahan subsidi maupun kompensasi BBM," tandasnya.

Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) maupun listrik pada tahun ini. Namun, keputusan itu hanya berlaku sampai Juni 2024.

Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, keputusan itu telah ditetapkan dalam sidang kabinet paripurna yang digelar Presiden Jokowi.

"Tadi diputuskan dalam sidang kabinet paripurna tidak ada kenaikan listrik, tidak ada kenaikan BBM sampai Juni, baik itu yang subsidi maupun non subsidi," kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Senin (26/2/2024).

Dengan ketetapan itu, maka pemerintah menurut Airlangga telah menetapkan tambahan anggaran untuk Pertamina maupun PLN supaya tidak ada perubahan harga.

Namun, dia belum menjelaskan besaran perubahan anggaran subsidi energinya. Sebagaimana diketahui pada tahun ini target subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun. Rinciannya ialah Rp 113,3 triliun untuk subsidi BBM dan LPG, serta Rp 73,6 triliun untuk subsidi listrik.

Oleh sebab itu, ia mengatakan, defisit APBN akan melebar dari yang ditetapkan, 2.29% dari PDB pada tahun ini, menjadi sekitar 2,8%. Seiring dengan adanya penambahan kebutuhan anggaran untuk beberapa pos anggaran.

Misalnya, penambahan subsidi pupuk sebesar Rp 14 triliun. Penambahan subsidi pupuk itu menurutnya untuk menyesuaikan kebutuhan riil petani 7-8 juta ton per tahun. Sebab, dengan anggaran subsidi pupuk yang saat ini Rp 26 triliun hanya cukup untuk 5,7 juta ton per tahun.

"Kenapa subsidi pupuk ditambah karena kita butuh pupuk sesuai jumlah setiap tahunan. Biasanya kan sekitar 8-7 juta ton," ucap Airlangga.

"Jadi jelas tidak cukup dan itu tercermin dari produksi padi bukan hanya karena pupuk tapi karena El Nino itu turunnya banyak. Januari-Maret itu demand dan supply deltanya short 1 juta." ucap Airlangga.

Selain itu, ia melanjutkan, juga ada program bantuan langsung tunai (BLT) mitigasi risiko pangan yang diarahkan untuk menekan tingginya harga beras senilai Rp 11,3 triliun.

"BLT naik untuk perubahan fluktuasi mitigasi harga sembako itu saja nilainya sudah Rp 11 triliun," tutur Airlangga.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Daftar Harga BBM di Indonesia Mei 2024: Ada yang Naik!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular