BI Ungkap 3 Negara Ini Jadi Sumber Masalah Ekonomi Global

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
01 March 2024 13:00
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung memberikan pemaparan dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (29/2/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung memberikan pemaparan dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (29/2/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memperkirakan perekonomian global masih penuh ketidakpastian pada tahun ini. Laju pertumbuhan ekonomi pun masih belum optimal dipengaruhi oleh lemahnya beberapa ekonomi negara besar.

Deputi Gubernur BI Juda Agung mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2024 hanya berada di level 3%, sedikit lebih lemah dibanding proyeksi pertumbuhan untuk 2023 sebesar 3,1%.

"Jadi kesimpulan kami pertumbuhan ekonomi global 3%, sedikit lebih rendah dibanding tahun sebelumnya 2023," kata Juda dalam acara Economic Outlook 2024 CNBC Indonesia, dikutip Jumat (1/3/2024).

Berdasarkan catatan BI, risiko pelemahan ekonomi global pada tahun ini bersumber dari lemahnya laju perekonomian China, Inggris, hingga Jepang. Khusus ekonomi China, BI perkirakan pertumbuhannya pada 2024 hanya 4,5% lebih rendah dari 2023 yang 5,2%, dan Jepang hanya 1,1% dari tahun sebelumnya 1,9%.

Meski begitu, BI memperkirakan, laju pertumbuhan ekonomi global 2024 lebih kuat dibandingkan perkiraan sebelumnya, yang hanya 2,8%. Ini yang menyebabkan cara pandang BI terhadap kondisi ekonomi global saat ini ialah cautiously optimistic, atau waspada tapi tetap optimistis terhadap pemulihan.

Aspek kewaspadaannya, selain karena melemahnya ekonomi tiga negara mitra dagang Indonesia, adapula eskalasi ketegangan geopolitik yang masih berlanjut, yang dapat mengganggu rantai pasokan global, membuat peningkatan harga komoditas pangan dan energi, serta menahan laju penurunan inflasi global.

Inflasi global pada awal 2024 berdasarkan catatan BI masih di kisaran 6,2% turun dari level tertinggi pada 2022 sebesar 9,2%. Namun, masih jauh lebih tinggi dari level 2019 dan 2020 yang bergerak di kisaran 2%.

"Kelihatan dari suppliers delivery time index mengalami peningkatan, terutama setelah adanya krisis di Terusan Suez, sehingga ini yang kemudian bisa menahan penurunan inflasi di beberapa bulan sebelumnya, itu sudah kelihatan trennya turun, ini agak sedikit tertahan," tutur Juda.

Perkembangan ini mengakibatkan ketidakpastian di pasar keuangan dunia masih tinggi. "Kelihatan dari US dolar index yang masih terus naik dan sekarang ini berada di sekitar 104, kemudian yield US Treasury juga masih di atas 44,29%, ini menunjukkan uncertainty dan risiko di capital flows ke emerging market juga masih cukup tinggi," ungkap Juda.

Sementara itu sisi optimistis nya berasal dari masih kuatnya kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India sejalan dengan konsumsi dan investasi yang tinggi. Indeks penjualan eceran di AS masih bergerak di level 132,2 dan purchasing manager's index di level ekspansif, yakni 52, sedangkan India 61,2.

"Karena AS ternyata lebih kuat dari yang kita perkirakan baik itu dari sisi tenaga kerja dan lain sebagainya, ekonominya sangat strong," ucap Juda.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Analisa Ekonomi Global dari Sri Mulyani & Gubernur BI: Tetap Waspada!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular