Awas! Kelompok Ini Butuh Perhatian Khusus Presiden Baru

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
13 February 2024 12:43
Pengunjung melihat tas yang di jual di bazar post market, di Lippo Puri Indah,  Jakarta Barat,  Jumat (2/2/2018). Bazar yang berlangsung selama 1-4 februari ini menjual barang-barang merk ternama yang harganya mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah. Tak sedikit orang yang berkunjung ke lokasi tersebut, kebanyakan dari mereka yang datang kalangan kelas menengah atas dan kolektor tas tas mewah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan ekonom menilai kelas menengah di Indonesia saat ini kurang terurus, dan harus menjadi perhatian presiden terpilih pengganti Presiden Joko Widodo. Tercermin dari tingkat konsumsi masyarakat yang terus menurun.

Bila dibiarkan terus menerus, aktivitas ekonomi pun akan terganggu. Selain itu, dapat memicu efek gejolak ekonomi dan sosial seperti yang terjadi negara-negara berkembang lain, salah satunya di Chili dengan fenomena yang dikenal dengan The Chilean Paradox.

Kepala Ekonom Bank Central Asia BCA David Sumual mengatakan, jumlah kelas menengah ke atas di Indonesia mencapai 70% dari keseluruhan struktur masyarakat Indonesia. Maka, ketika mereka menahan belanja otomatis konsumsi masyarakat yang tercermin dalam produk domestik bruto ikut melambat.

"Sekitar 70 persenan dari total spending. Jadi kalau mereka enggak spend, atau mengurangi spendnya, cukup dominan mempengaruhi gairah spending di masyarakat karena yang bawahnya cuma 30%," ucap David saat ditemui di Menara BCA, dikutip Selasa (13/2/2024).

Berdasarkan indeks transaksi belanja (intrabel) BCA, pertumbuhan tingkat konsumsi secara nominal turun 3,95% secara tahunan atau year on year (yoy) per 25 Januari 2024. Tren penurunan belanja ini sudah terjadi sejak pertengahan 2021 dari angkanya saat itu tumbuh di level kisaran 30%.

Turunnya nilai konsumsi searah dengan level PDB nominal yang terus turun tingkat pertumbuhannya, dari sejak kuartal III-2022 tumbuh 17,09% menjadi hanya tumbuh 4,51% pada kuartal III-2023. PDB nominal menurut David lebih mencerminkan kondisi sesungguhnya dari aktivitas perekonomian.

"Nah PDB nominal kita dari tahun lalu turun terus, biasanya dua digit bisa 15%-12% tahun lalu turun jadi 6,7%, ke 4,5%, terakhir kuartal IV-2023 antara 3,6%-3,7%, turun terus. Artinya memang omzet perusahaan memang turun," ucap David.

David menilai, tertahannya konsumsi kelas menengah itu disebabkan banyak faktor, salah satunya ialah aktivitas ekonomi saat ini yang melambat, tercermin dari terus merosotnya harga komoditas. Selain itu, ada faktor ketidakpastian ekonomi yang mengganggu kepercayaan mereka belanja, sehingga lebih memilih mengeluarkan uangnya untuk keperluan investasi.

"Kalau dia yakin kondisi ekonomi, lapangan kerja, itu masalah feeling, kelas menengah atas itu kan masalah di secure enggak, ketika spend masih kerja enggak bulan depan, jadi kayak soal job security," tegasnya.

Pada periode krisis, maupun saat pemulihan dari krisis, seperti pasca Pandemi Covid-19 dan tekanan harga akibat fenomena el-nino maupun tren suku bunga acuan bank sentral yang tinggi saat ini, David mengatakan, kebijakan pemerintah masih bersifat bantuan pada kelas menengah ke bawah.

"Dukungan itu kuat di bawah, menengahnya itu kita kan tidak merasakan, kejepit di tengah, sandwich, jadi perlu ada kebijakan juga yang mungkin perkuat daya beli kelas menengah," tutur David.

Oleh sebab itu, menurutnya penting didesain kebijakan yang menopang daya beli masyarakat kelas menengah, mulai dari kebijakan pajak yang longgar terhadap mereka, hingga moda transportasi umum yang terjangkau dan mudah diakses.

"Sebenarnya kalau demokrasinya mau kuat menengah yang harus dikuatkan, menengah itu kan vokal, terus makanya dari dulu susah untuk kebijakan populis yang kena ke kita kayak bensin atau BBM. Tapi kalau alternatifnya sudah disediakan angkutan umum bagus menengah juga happy," ucap David.

Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri sebelumnya juga telah mewanti-wanti pemerintah untuk tidak terus menerus melupakan kepentingan kelas menengah di Indonesia. Ia khawatir, jika kelas menengah tak terus menerus mendapat fokus kebijakan, Indonesia bisa bernasib seperti Chile.

Negara Amerika Latin itu harus menghadapi fenomena The Chilean Paradox, yakni meletusnya kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi pada Oktober 2019. Kerusuhan tersebut dimotori oleh kelas menengah Chile yang merasa tidak puas dengan pemerintahan.

"Saya pikir ini isu yang amat besar," kata Chatib dalam acara Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia di Jakarta.

Chatib mengatakan kebijakan-kebijakan pemerintah Chile saat itu memang terlalu fokus kepada 10% masyarakat terbawah. Sementara, kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas umum yang layak kurang mendapatkan perhatian. "Sebagian policy-nya itu fokus pada sepuluh persen ke bawah," kata dia.

Padahal The Chilean Paradox terjadi ketika kondisi negara itu sedang bagus-bagusnya. Chile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%. "Lebih baik dari Indonesia," ujar dia.

Chatib mengatakan pemerintah Indonesia harus belajar dari peristiwa ini. Dia bilang dalam beberapa tahun ke depan kelas menengah akan mendominasi penduduk Indonesia. Kalangan ini tidak membutuhkan bantuan sosial atau uang tunai, namun lebih kepada fasilitas umum yang baik.

"Mereka akan butuh lebih pada kualitas pendidikan yang baik, sarana transportasi yang lebih baik. Ini yang akan menjadi isu political economy ke depan," kata dia.

"Saya ga akan terkejut kalau 10 tahun lagi orang bisa terpilih jadi presiden kalau dia bisa menyelesaikan masalah sampah, parkir dan fasilitas umum karena urbanisasi yang terjadi," ungkap Chatib.


(arm/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Asing Sudah Beri Warning! 115 Juta Kelas Menengah RI Rawan Miskin

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular