
Peringatan Krisis China Meningkat, Bak Krisis Keuangan AS 2008

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketergantungan China yang berlebihan pada sektor real estat telah menyebabkan perekonomiannya terpuruk. Bahkan krisis bisa meningkat seperti krisis keuangan yang terjadi di AS pada tahun 2008.
Hal ini dikatakan ekonom AS, pendiri hedge-fund ternama Hayman Capital, Kyle Bass. Sejumlah alasan ia utarakan.
"Ini seperti krisis keuangan steroid di AS," katanya diwawancarai CNBC International, dikutip Senin (12/2/2024).
"Mereka mempunyai leverage perbankan 3,5 kali lebih besar dibandingkan saat kita memasuki krisis, dan mereka baru terjun ke dunia perbankan selama beberapa dekade," ujarnya.
Bass mengatakan pertumbuhan ekonomi yang dinikmati China selama bertahun-tahun sebelum pandemi ini dimungkinkan oleh pasar real estat yang tidak diatur. Padahal sektor itu bergantung pada utang untuk melakukan ekspansi.
Sektor real estat memang menyumbang sekitar seperempat PDB negara. Ini juga menyumbang 70% kekayaan rumah tangga.
Dengan gagal bayar yang kini melanda industri ini, hal ini dapat menimbulkan masalah bagi perekonomian negara secara lebih luas.
"Arsitektur dasar perekonomian China telah rusak," kata Bass.
"Hampir setiap pengembang publik atau terdaftar di China mengalami gagal bayar," tambahnya.
Diketahui, dua perusahaan terbesar, Evergrande dan Country Garden, memiliki utang kolektif lebih dari US$500 miliar. Pada bulan Januari, pengadilan Hong Kong memerintahkan likuidasi Evergrande, dan keruntuhan Evergrande memicu kekhawatiran akan risiko sistemik yang akan datang.
"Sebagai perbandingan, sistem perbankan AS kehilangan sekitar US$800 miliar selama krisis keuangan, yang kemudian diseimbangkan kembali melalui modal baru," kata Bass menyinggung bagaimana pejabat China ragu-ragu untuk memberikan stimulus ekonomi seperti yang dilakukan AS pada tahun 2008.
Bass mengatakan bahwa gagal bayar menyebabkan tekanan keuangan pada pemerintah daerah, yang meningkatkan pendapatan melalui penjualan tanah kepada pengembang. Kebangkrutan pemerintah, tambahnya, kini tertinggal dari pasar properti, dengan pasar utang pemerintah daerah setara dengan US$13 triliun.
Tekanan ini tercermin di pasar China, yang telah kehilangan sekitar US$7 triliun sejak tahun 2021. Dalam beberapa minggu terakhir, pihak berwenang di Beijing telah mempublikasikan upaya untuk membendung arus keluar ini, meskipun kepercayaan belum meningkat.
"China akan menjadi lebih buruk tidak peduli berapa banyak regulator mereka yang mengatakan, 'Kami akan melindungi individu dari short-selling terlarang,'" kata Bass merujuk pasar saham.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sengkarut Perumahan di Indonesia, Propertinomic Jadi Jurus Jitu?
