Internasional

Momok Ekonomi China Makin Ngeri, Eksportir Teriak hingga Megap-Megap

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
05 February 2024 15:25
Kapal kargo berlabuh di dermaga untuk memuat dan membongkar peti kemas di terminal peti kemas di Pelabuhan Lianyungang, provinsi Jiangsu, China Timur, 7 Juni 2023. (Wang Chun / CFOTO/Future Publishing via Getty Images)
Foto: Kapal kargo berlabuh di dermaga untuk memuat dan membongkar peti kemas di terminal peti kemas di Pelabuhan Lianyungang, provinsi Jiangsu, China Timur, 7 Juni 2023. (Future Publishing via Getty Imag/Future Publishing)

Jakarta, CNBC Indonesia - Permasalahan ekonomi kembali menghantam China. Deflasi pabrik yang berkepanjangan mengancam kelangsungan hidup para eksportir kecil di Negeri Tirai Bambu.

Hal ini disebabkan tingginya suku bunga di luar negeri. Meningkatnya proteksionisme perdagangan juga ikut menekan permintaan.

Harga-harga di tingkat produsen telah anjlok selama 15 bulan berturut-turut. Ini menghancurkan margin keuntungan hingga ke titik di mana output industri dan lapangan pekerjaan kini terancam dan menambah kesengsaraan perekonomian China, yang telah dilanda krisis properti dan krisis utang.

Salah satu yang merasakan pahitnya deflasi adalah Kris Lin. Pemilik pabrik lampu itu menerima pilihan pahit antara menerima pesanan dari luar negeri dengan rugi, atau memberi tahu para pekerja untuk tidak kembali lagi setelah Tahun Baru Imlek.

"Mustahil bagi saya untuk membatalkan pesanan ini," kata Lin kepada Reuters, (5/2/2024).

"Saya bisa saja kehilangan klien ini selamanya, dan hal ini akan membahayakan penghidupan banyak orang. Jika kami menunda melanjutkan produksi, orang-orang mungkin mulai meragukan bisnis kami. Jika rumor menyebar, hal itu akan mempengaruhi keputusan pemasok kami."

Laba perusahaan industri China turun 2,3% tahun lalu, menambah penurunan sebesar 4% pada tahun 2022 yang dilanda Covid-19. Sebuah survei resmi menunjukkan aktivitas manufaktur mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut di bulan Januari, sementara pesanan ekspor menyusut selama 10 bulan.

Bagi Lin, ini berarti pesanan senilai US$ 1,5 juta yang diajukan kliennya kali ini 25% lebih rendah dari pesanan serupa tahun lalu. Itu juga 10% di bawah biaya produksi.

Analis memperkirakan ekspor yang lesu berarti para pembuat kebijakan perlu mengambil tindakan lain untuk mencapai target pertumbuhan mereka sehingga meningkatkan urgensi untuk menstimulasi konsumsi rumah tangga.

"Semakin cepat 'penyeimbangan kembali' pertumbuhan, semakin cepat tekanan penurunan harga dan margin akan hilang," kata Louis Kuijs, kepala ekonom Asia-Pasifik di S&P Global.

Raymond Yeung, kepala ekonom Tiongkok di ANZ, mengatakan memperbaiki deflasi harus menjadi prioritas kebijakan yang lebih tinggi daripada mencapai target pertumbuhan yang diharapkan sekitar 5% untuk tahun ini.

"Perusahaan memotong harga produk, lalu gaji staf. Lalu konsumen tidak mau membeli. Ini bisa menjadi lingkaran setan," katanya.

'Balap Tikus'

Beijing telah menyalurkan sumber daya keuangannya ke sektor manufaktur, bukan konsumen. Ini kemudian memperburuk kekhawatiran kelebihan kapasitas dan deflasi, bahkan di sektor-sektor kelas atas yang sedang booming, seperti kendaraan listrik.

Seorang eksekutif di sebuah pabrik cetakan otomotif dari provinsi Zhejiang bagian timur, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, memperkirakan output dan ekspor perusahaan tersebut akan meningkat, namun pendapatannya akan turun, menggambarkan semakin ketatnya persaingan di industri ini sebagai sebuah 'balapan tikus'.

Ketika bank sentral China mengeluarkan likuiditas ke dalam sistem keuangan untuk memacu pertumbuhan, bank-bank mengejar pabrik-pabrik yang menawarkan pinjaman murah.

Namun karena terdesak oleh pesaing-pesaing yang lebih besar, perusahaan-perusahaan kecil enggan mengambil pinjaman untuk membiayai bisnis baru, hal yang oleh para ekonom dilihat sebagai hubungan yang terputus dalam kebijakan moneter China yang semakin tidak efisien.

Investasi oleh perusahaan swasta, yang menurut pejabat negara menyediakan 80% lapangan kerja di perkotaan, turun 0,4% tahun lalu. Sementara investasi negara naik 6,4%.

"Banyak manajer bank menelepon saya dan mereka terdengar sangat cemas ketika tidak bisa meminjamkan uang," kata Miao Yujie, seorang eksportir pakaian e-commerce.

Bahkan setelah mengurangi separuh tenaga kerjanya menjadi sekitar 20 orang pada tahun lalu, Miao tidak dapat menghasilkan keuntungan karena perusahaan-perusahaan besar memaksanya keluar dari pasar.

"Tetapi Anda hanya perlu meminjam ketika Anda ingin melakukan ekspansi."

Masalah baru

China juga mengalami ketakutan deflasi pada 2015, ketika menghadapi kelebihan kapasitas di industri primer, seperti baja, yang didominasi oleh perusahaan milik negara. Pihak berwenang mengurangi produksi ini ini untuk mengurangi pasokan kemudian mempercepat pembangunan infrastruktur dan properti untuk meningkatkan permintaan.

"Kali ini lebih merupakan surplus sektor swasta," kata ekonom Hwabao Trust, Nie Wen, yang menyoroti produsen elektronik, bahan kimia, dan mesin. Perusahaan-perusahaan ini mempekerjakan banyak orang, hal ini merupakan hal yang sensitif bagi para pembuat kebijakan di China.

"Oleh karena itu, sulit untuk mengurangi pasokan, sehingga upaya lebih besar harus dilakukan pada sisi permintaan tahun ini."


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi China Dalam Bahaya, Ini Tanda Terbarunya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular