Petani, Buruh-Pengusaha Kompak Teriak Tolak RPP Kesehatan
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sedang menyusun draf atau rancangan Peraturan Pemerintah (PP) turunan Undang-Undang (UU) No 17/2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan). Rencananya, RPP itu akan memuat sejumlah pengendalian produksi, impor, peredaran, iklan rokok hingga larangan-larangan terkait penjualan dan sponsorhip produk tembakau dan rokok elektrik.
RPP ini kemudian membuat petani, pedagang, buruh, hingga pengusaha kompak dan menolak aturan baru ini diterbitkan. Apalagi, aturan ini disebut tak memperhitungkan pendapat mereka.
Pemerintah berdalih, RPP ini bukan untuk melarang hingga menutup pabrik rokok. Tapi untuk mengendalikan jumlah perokok di Indonesia.
Dalam Halaqah Nasional Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) "Telaah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif" yang ditayangkan akun Youtube Sahabat P3M pada 12 Oktober 2023 lalu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes Benget Saragih mengatakan, elah melewati proses analisis, kajian per pasal oleh Kemenkes hingga tingkat menteri, lalu di bawa dalam diskusi antar kementerian.
"Dalam membuat pasal demi pasal kita minta masukan dari yang pro dan yang kontra, kita lihat dari sisi ekonomi, jangan sampai juga petani kolaps, industri kolaps. Ini dilihat pimpinan kami," katanya dikutip Jumat (24/11/2023).
"Kementerian Kesehatan terbuka untuk ini, kami mengadakan pembahasan antar kementerian. Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian. Dan, RPP ini adalah untuk mengatur orang merokok, bukan melarang," tambah Benget.
Hanya saja, baik petani maupun pengusaha mengatakan hal berbeda. Petani maupun pengusaha, hingga pedagang mengaku tak dilibatkan dalam penyusunan RPP Kesehatan.
Padahal, RPP ini disebut akan memicu efek domino yang pada ujungnya dapat menekan dan membebani petani, pedagang, maupun pengusaha.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji mengatakan, RPP kesehatan membawa awan gelap yang bisa mematikan ekonomi petani tembakau.
"Dan, selama penyusunan RPP ini petani sangat minim diminta masukan. RPP ini seolah dipaksakan agar disetujui semua unsur. Kami juga selama hampir 2 tahun ini sudah mencoba ke pemerintah, kirim surat ke presiden, meminta RPP ini jangan dilanjutkan," kata Agus.
"Larangan dan pengetatan iklan rokok memang akan berdampak langsung ke perusahaan terkait. Tapi kalau industri hilirnya macet akibat regulasi ini, dampak negatifnya nanti hasil panen kami juga akan macet, tidak dibeli. Kalau tidak terserap, petani tembakau akan lemah dan hancur," cetusnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Ketut Budiman menambahkan, sekitar 6 juta petani cengkih dan keluarganya akan terkena dampak buruk RPP Kesehatan.
"Mereka bergantung pada pabrik rokok kretek, kan kalau cengkih ini untuk rokok kretek, ini bisa terdampak. RPP kesehatan ini sangat tidak bersahabat terhadap ekosistem pertembakauan, jelas kami menolak dengan tegas," katanya.
"Cengkih 95% end user-nya adalah pabrik rokok kretek. Turunnya industri rokok kretek tentu serapan cengkehnya juga akan berkurang, akan terjadi oversupply akan berdampak turunnya harga, sudah tentu merugikan petani cengkeh kita," ujar Budiman.
Kalangan buruh juga ikut menolak rencana pemerintah lewat RPP Kesehatan.
"Kami sangat menolak (RPP Kesehatan). Karena pasti akan berdampak ke sektor-sektor, terutama petani tembakau. Intinya, terkait RPP ini, kami sangat konsen (concern) dengan RPP yang sedang digodok. Tentunya akan memberi perlawanan terkait RPP," kata Ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) DKI Jakarta Kusworo.
"Karena bukan hanya satu sektor saja. Kalau ngomongin tembakau itu dari hulu hingga hilir, dari petani sampai dengan sales-nya, sampai dengan transportasinya, buruh pabriknya apalagi. Jadi dampaknya ini sangat domino apabila memang RPP ini akan diterapkan di kemudian hari," tukasnya.
Sebagai informasi, RPP ini juga akan melarang penjualan rokok secara eceran. Hal ini kemudian mengundang reaksi keras dari pedagang.
Menurut Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Reynaldi Sarijowan, larangan ini akan menggerus pendapatan pedagang warung atau kios kaki lima.
"Rokok eceran itu dijual oleh anggota kita pedagang kaki lima di sekitar pasar atau pun di wilayah lain. Jika rokok eceran dibatasi, maka membatasi pula ruang jualan bagi pedagang anggota kami. Rokok eceran masih jadi sumber pendapatan bagi pedagang kaki lima atau toko klontong. Kalau dibatasi, berarti pendapatannya berkurang," ujar Reynaldi.
"Pendapatan warung kaki lima atau toko klontong di pinggir jalan itu 30% dari jualan rokok ketengan. Jadi kalau dilarang akan berisiko. Apa pun kebijakannya, parameter seperti ini seharusnya sudah dipertimbangkan pemerintah dan harus disosialisasikan dengan baik," cetusnya.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto mengatakan, pengetatan jam tayang iklan rokok, larangan iklan rokok di media luar ruang atau billboard, larangan di media sosial, hingga larangan sponsorhip akan memberatkan perusahaan jasa periklanan.
"Ini akan jadi tantangan. Dari segi media digital, iklan di media digital justru lebih memiliki kemampuan mengatur target jangkauannya. Lalu iklan hanya boleh di jam-jam yang kita sebut jam hantu, nggak ada lagi yang lihat. Ini yang berat," katanya.
"Lalu larangan iklan billboard, bisa dibayangkan efeknya akan berdampak ke ribuan orang. Begitu juga dengan iklan langsung di event-event. Multiplier effects-nya banyak Ini concern kita yang kita coba sampaikan ke pemerintah. Apalagi kita tak pernah dilibatkan langsung dalam penyusunan draf ini," sebut Janoe.
Sementara itu, Ketua Indonesia Digital Association (IDA) Dian Gemiano mengingatkan, RPP ini akan memicu efek domino yang kemudian bukan tak mungkin akan berdampak pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Kita pernah hitung proyeksi pendapatan media berita seperti Detik, Kompas, Kontan yang masuk media berita, kemungkinan potensi hilang Rp 200-250 miliar setahun jika nggak boleh iklan rokok, dan itu signifikan karena kita sedang disrupsi. Kehilangan sebesar itu bisa memengaruhi profit loss, impact-nya management mengurangi cost, dan cost paling besar media di karyawan ada potensi pengurangan karyawan, kami belum hitung potensinya berapa, tapi ada potensi itu," kata Gemio.
"Dalam konteks keberlangsungan media, itu penting kita perjuangkan, udah stop, ngga ada lagi lay off media, kita ingin media sustain, kita ingin jaga. Setuju diatur tapi harus adil dan tinggal pelaksanaannya seperti apa," tukasnya.
Hal senada disampaikan Direktur Utama PT Java Festival Production Dewi Gontha.
"Kalau ditanya setuju atau tidak setuju, sejujurnya saya tidak setuju kalau sampai ini dilarang. Menurut saya, kita masih perlu cari alternatif," katanya.
"Itu selalu kena impact, mau besar mau kecil. Event yang 40 ribu orang, sama event yang seribu orang tetap perlu penginapan, tetap perlu transportasi, tetap perlu makanan dan minuman. Jadi ini di luar orang-orang yang memang bekerja langsung dalam sebuah acara (musik)," sebut Dewi.
Ketua Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi menambahkan, RPP Kesehatan menciptakan kondisi tak nyaman.
Sebab, katanya, satu aturan mengatur soal kesehatan, obat, dokter, juga rokok sampai cukai.
"Kami harap kluster zat adiktif terpisah dari RPP keseluruhan seperti 109/2012 tersendiri. Itu rasanya paling tepat karena ada petani, buruh di situ. Jadi treatment beda," kata Benny.
Sebagai informasi, RPP ini rencananya akan memuat sejumlah aturan terkait:
- penyelenggaraan produksi
- impor
- pengaturan peredaran produk tembakau dan rokok elektronik termasuk menjual eceran
- penyelenggaraan kawasan tanpa rokok
- pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik
- pengendalian promosi dan larangan sponsorship produk tembakau dan rokok elektronik
- layanan upaya berhenti merokok.
(dce)