
Bukan Pensiun Dini, Pemerintah Pilih Cara Ini Matikan PLTU

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut program penghentian operasional sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) lebih cepat dari rencana awal alias pensiun dini bersifat kondisional. Jalan atau tidaknya program tersebut bergantung pada adanya pendanaan yang masuk.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu mengatakan jika tidak ada pendanaan yang masuk untuk merealisasikan program suntik mati PLTU, sebagai gantinya PLN bakal memilih skenario coal phase down.
Di mana di dalam skenario ini, operasi PLTU akan dibiarkan hingga berakhirnya kontrak jual beli listrik. Ketika berakhir, kemudian unit PLTU belum ada depresiasi dan pembangkit masih dapat beroperasi, maka PLTU-PLTU tersebut masih akan tetap digunakan sebagai baseload melalui penambahan teknologi atau modifikasi.
Misalnya seperti green hydrogen, green ammonia, biomassa dan carbon capture storage (CCS). Dalam skenario coal phase down, penggunaan energi dari batu bara di PLTU akan dikurangi secara bertahap.
"Kan sekarang di JETP begitu, kalau gak ada pendanaan gimana kita mau (pensiun)? Dia ada bukan early tapi natural gitu loh sampai habis. Tapi itu kita masih memerlukan yang disebut baseload walau dari fosil tapi harus ujung-ujungnya 2060 sudah 0 emisinya itu yang ini. Jadi jangan kita perang terhadap pembangkit, kita perang terhadap emisi," kata Jisman di Gedung DPR, dikutip Kamis (16/11/2023).
Di samping itu, Jisman mengakui semangat dari penerapan coal phase down cukup berbeda dengan apa yang sebelumnya digencarkan oleh Presiden Joko Widodo yakni program pensiun dini PLTU.
"Semangatnya demikian kan karena di awal, tapi kan kita ada itung-itungan di teknis, karena misalnya kita langsung phasing out emang listrik di rumahmu bisa padam? Satu jam aja kamu dah ngamuk," katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan setidaknya PLN telah merancang 5 skenario dalam upayanya mengejar target NZE di 2060. Adapun dari kelima skenario tersebut, perusahaan memilih skenario Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down.
Dimana dalam skenario ini, terdapat target ambisius dengan penambahan pembangkit energi terbarukan sebesar 75% dan gas 25%, yang akan memastikan pengurangan emisi dengan tetap menjaga keandalan sistem.
"Kami sudah mengambil suatu persetujuan bahwa skenario paling feasible yaitu Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down dan ini juga sejalan dengan sistem modelling yang kami lakukan bersama antara Kementerian ESDM, PLN, dan IEA," ujar Darmo dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Rabu (15/11/2023).
Dalam skenario ini, Darmawan menjelaskan bahwa PLTU berbasis batu bara masih akan tetap beroperasi hingga masa akhir kontrak. Namun dengan catatan, ada penambahan fasilitas teknologi Carbon Capture Storage (CCS) untuk menekan emisi yang dihasilkan.
Selain penambahan teknologi CCS pada unit PLTU, dalam skenario tersebut, PLN juga akan menambah kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) berbasis baseload sebesar 31 Giga Watt (GW).
Berikutnya, penambahan kapasitas pembangkit EBT yang bersifat intermitten dari PLTS dan PLTB sebesar 28 GW. Lalu kapasitas pembangkit yang berasal dari energi baru misalnya seperti nuklir sebesar 2,4 GW.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PLTU Batu Bara Disuntik Mati, Listrik di Jawa Bisa Padam!
