
Intip Transformasi Tambang 'Emas Hitam' di Selatan Sumatera

Tidak hanya di kancah nasional, keberadaan PTBA selama ini juga telah memberi dampak positif bagi perekonomian daerah. Ini menyusul langkah perusahaan yang selalu senantiasa membantu kemajuan usaha masyarakat di sekitar daerah tambang di Kabupaten Muara Enim.
Kamis siang (19/10/2023), lembaran kain mori putih bercorak batik tampak berjejer untuk siap dijemur. Tak ketinggalan, aroma wajan berisi lilin (malam) yang tengah dimasak di atas kompor mulai tercium dari jarak 5 meter.
Rupanya, para ibu rumah tangga di Dusun Tanjung, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan sedang asyik memegang canting untuk membatik di sebuah rumah produksi.
Celetuk salah satu ibu-ibu, "daripada bergosip ria dengan samping kanan-kiri, lebih baik berproduktif."
Ya, para wanita mandiri ini tidak lain dan tidak bukan adalah anggota kelompok dari Sentra Industri Bukit Asam (SIBA) bernama Batik Kujur.
SIBA sendiri merupakan program Corporate Social Responsibility (CSR) PTBA, yang mendukung masyarakat melalui berbagai kegiatan usaha industri dan produksi berbagai produk olahan. Rumah produksi Batik Kujur adalah satu dari sekian banyak program investasi sosial infrastruktur yang digencarkan PTBA.
Meri Alha (40), salah satu kelompok di SIBA Batik Kujur, bercerita telah bergabung menjadi mitra binaan PTBA sejak empat tahun yang lalu. Ibu tiga anak ini mengaku hidupnya berubah sejak saat itu.
Penghasilan dari membatik Meri bergantung pada jumlah orderan yang masuk. Namun, ia pernah mendapatkan sekali pesanan hingga 50 lembar kain batik dari manajemen PTBA.
"50 lembar itu kalikan saja ada yang Rp 250 ribu ibaratnya, tapi kami itu nanti ibarat dapat uang Rp 20 juta kami bagi buat modal, buat gaji karyawan, sisanya baru untuk kami," tutur Meri.
Meri bercerita, kegiatan membatik dikerjakan selepas mengurus anak dan membereskan pekerjaan rumah. Setidaknya, ia dengan dibantu beberapa karyawannya mampu mengerjakan proses pewarnaan tiga lembar kain batik per harinya.
"Kalau selesai dari pekerjaan rumah baru kami kerja, sehari yang ngeblok atau colet itu bisa tiga lembar sehari," ungkapnya.
Menurut Meri, tidak hanya sebagai sumber mata pencaharian baru yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pengembangan batik Kujur memiliki arti cukup penting bagi keluarga dan masyarakat sekitar.
Sebab, Kujur yang merupakan senjata tradisional berupa tombak ini merupakan peninggalan Puyang Pelawe, seorang pendiri Tanjung Enim pada abad ke-14.
"Kujur ini benda pusaka peninggalan Puyang Pelawe atau syeh, kenapa dinamakan batik Kujur untuk mengenang jasa-jasa Puyang Pelawe itu dalam menyebarkan agama Islam dan mendirikan Tanjung Enim. Salah satu keturunan pemilik pusaka ini adalah suami saya," bebernya.
![]() CSR Bukit ASAM Rumah Batik Kujur Dusun Tanjung Enim, Sumatera Selatan. (CNBC Indonesia/Verda Nano Setiawan) |
Di tempat yang sama, Mayar Rizki selaku anggota Kelompok SIBA Batik Kujur lainnya juga menceritakan gurihnya lapak dari bisnis membatik. Puluhan juta rupiah berhasil ia raup tiap bulannya.
"Kalau untuk pendapatannya alhamdulilah dari 2019-2021 itu Rp 20 juta per bulan. Kalau sekarang alhamdulillah 2020-2023 mencapai Rp 50 juta per bulan," kata dia.
Pewarna batik Kujur sendiri dibedakan menjadi dua jenis, sintetis dan alami. Adapun untuk setiap kain batik dengan bahan pewarna alami, Mayar membanderolnya paling murah dengan harga Rp 500 ribu.
Mayar mengaku sudah melakoni bisnis ini sejak 2019 dengan dibantu 9 karyawan saat ini. Upah yang diberikan Mayar kepada para karyawannya pun bervariatif.
"Tergantung berapa jasa per hari bikin. Per hari proses pencoletan satu kain Rp 20 ribu, perebusan per kain Rp 30 ribu untuk pengencangan Rp 30 ribu jadi kalau dia satu hari bisa capai 10 kain bisa Rp 300 ribu per hari tergantung pengerjaan," kata dia.
Sebagai informasi, sampai saat ini terdapat 12 kelompok SIBA Batik Kujur dengan total anggota yang ada di dalamnya mencapai puluhan pengrajin. Para pengrajin yang diberdayakan dalam kelompok SIBA Batik Kujur adalah ibu-ibu rumah tangga.
Selain Batik, program SIBA terdiri dari beberapa bidang usaha. Antara lain Manufaktur, Jasa Boga, Bokashi, Songket, Rajut, Kopi, Produk Rosella dan lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari program SIBA, PTBA juga melakukan pembangunan SIBA Center. Pembangunan SIBA Center bertujuan untuk meningkatkan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah perusahaan.
VP Sustainability PTBA, Hartono menjelaskan SIBA Center merupakan pusat bagi masyarakat yang tergabung dalam SIBA untuk mendisplay hasil karya mereka.
"Jadi memang kita melakukan pemberdayaan itu seperti contoh untuk batik kita fokuskan di daerah Dusun Tanjung kemudian ada songket kita fokuskan di desa Lingga dan lain sebagainya gitu ya," ujar Hartono.
Dalam SIBA Center ini, terdapat beberapa unit rumah kayu sebagai tempat produksi dan penjualan industri binaan CSR PTBA. SIBA Center dibangun dengan memanfaatkan lahan tidur bekas stockpile batu bara seluas 1.500 m2.
Ditemui di SIBA Center, Ketua SIBA Songket Yeni Puspitasari mengaku cukup bersyukur bisa bergabung menjadi mitra binaan PTBA. Pasalnya, melalui unit usaha ini, dia berserta ibu-ibu lainnya bisa mandiri di kaki sendiri.
Tak main-main, pendapatan di SIBA Songket per bulannya bisa mencapai Rp 50 juta. Namun hal tersebut tergantung pada ramai atau tidaknya orderan yang masuk.
Yeni membeberkan, untuk harga setiap satu pasang kain songket lengkap dengan selendang, ia mematok harga bervariasi. Mulai dari Rp 3 juta hingga Rp 5 juta. Semua tergantung bahan dan pewarna yang digunakan.
"Itu awalnya saya sendiri yang punya ide untuk masyarakat Desa Lingga, untuk tenun pertama kali dibantu CSR PTBA alat tenun ada 8 buah sekalian benang dan pelatihnya sampai hari ini kita berdiri sendiri," ujarnya.
Selain Yeni, Vili Vilia selaku Ketua SIBA Rajut juga mempunyai cerita tersendiri mengenai program CSR yang diberikan oleh PTBA. Setidaknya dari hasil merajut, Vili bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
"Terus terang saya punya anak tiga, dua yang sudah dewasa sampai kuliah selesai dari hasil binaan PTBA. Saya terus terang saja ini," tegasnya.
Dengan mata berkaca-kaca, ia menceritakan mulai menekuni usaha rajut pada 2018 silam. Namun Vili sejatinya telah bergabung menjadi mitra binaan PTBA sejak 2008.
Vili menerangkan di saat pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) gulung tikar akibat pandemi Covid-19, unit usaha yang ia lakoni justru banjir pesanan dan berkembang pesat.
"Kalau kita rajut alhamdulillah, Covid-19 yang lain agak melempem terus terang kita sampai beribu-ribu masker pesanan," kata dia.
(wia)