Tanda China Bisa Jadi 'Juru Selamat' Perang Hamas Vs Israel

Jakarta, CNBC Indonesia - China masih terus berupaya untuk menstabilisasi kembali keadaan di wilayah Timur Tengah pascapecahnya perang antara Israel dengan kelompok Hamas di Gaza, Palestina. Negeri Panda masih terus mendesak agar baik Israel dan Hamas menahan diri agar eskalasi tidak meluas.
Menteri Luar Negeri (Menlu) China, Wang Yi, membahas konflik tersebut dengan para pejabat di Washington pada akhir pekan di tengah kekhawatiran akan perang regional yang lebih besar. Amerika Serikat (AS) telah berjanji akan bekerja sama dengan China dalam upaya menemukan resolusi.
Wang juga telah berbicara dengan rekan-rekannya di Israel dan Palestina setelah utusan khusus China untuk Timur Tengah Zhai Jun terbang ke wilayah tersebut untuk bertemu dengan para pemimpin Arab. Mereka juga menjadi salah satu pendukung gencatan senjata yang paling vokal dalam pertemuan-pertemuan PBB.
Ada harapan China dapat memanfaatkan hubungan dekatnya dengan Iran, yang mendukung Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, untuk meredakan ketegangan. Para pejabat AS dikabarkan menekan Wang untuk "mendesak ketenangan" terhadap Iran, yang merupakan penyokong kedua kelompok itu.
China adalah mitra dagang terbesar Iran, dan awal tahun ini Beijing menjadi perantara dalam upaya perdamaian yang jarang terjadi antara Iran dan Arab Saudi. Teheran mengatakan pihaknya "siap memperkuat komunikasi dengan China" dalam menyelesaikan situasi di Gaza.
Jaringan dan kedekatan ini dirasa menjadi salah satu poin mengapa Beijing dapat dijadikan perantara yang jujur. Profesor ahli kebijakan luar negeri China, Dawn Murphy, menyebut China memiliki hubungan yang seimbang dengan seluruh kalangan.
"Secara khusus, China memiliki hubungan positif dengan Palestina, Arab, Turki dan Iran. Bersama dengan AS yang memiliki hubungan baik dengan Israel, mereka bisa mengajak semua pihak untuk ikut serta dalam perundingan," ujarnya kepada BBC, Kamis (2/11/2023).
Namun China disebutkan memiliki beberapa kelemahan. Pengamat lain berpendapat bahwa Beijing masih merupakan pemain kecil dalam politik Timur Tengah.
"China bukanlah aktor yang serius dalam masalah ini. Berbicara dengan masyarakat di kawasan ini, tidak ada yang mengharapkan Beijing berkontribusi terhadap solusi ini," kata Jonathan Fulton, peneliti senior non-residen di Atlantic Council yang berspesialisasi dalam hubungan China dengan negara-negara Timur Tengah.
Selain itu, pernyataan pertama Menlu Wang dalam konflik ini juga tidak mengutuk aksi Hamas yang menyerang pemukiman Israel pada 7 Oktober lalu. Ini sempat membuat Tel Aviv marah kepada Beijing.
Setelah kehebohan atas pernyataan pertamanya, Wang kemudian mengatakan kepada Israel bahwa "semua negara mempunyai hak untuk membela diri". Namun ia juga menggarisbawahi bahwa tindakan Israel telah "di luar jangkauan pembelaan diri".
Sikap ini sendiri didasari simpati China terhadap Palestina yang telah lama kepada perjuangan Palestina. Hal ini dimulai sejak pendiri Partai Komunis China, Mao Zedong, yang mengirim senjata ke Palestina untuk mendukung apa yang disebut gerakan "pembebasan nasional" di seluruh dunia.
Dalam beberapa dekade terakhir, China membuka diri secara ekonomi dan menormalisasi hubungan dengan Israel, yang kini memiliki hubungan dagang bernilai miliaran dolar.
Namun China telah menegaskan bahwa pihaknya terus mendukung Palestina. Dalam pernyataan mereka mengenai konflik terbaru ini, para pejabat China dan bahkan Presiden Xi Jinping telah menekankan perlunya negara Palestina yang merdeka.
"Beijing sudah pro-Palestina sejak masa Mao dan sadar akan kedekatan AS dengan Israel... (sekarang) hampir semua hal yang didukung AS, harus ditentang oleh China," kata Yu Jie, peneliti senior China di lembaga pemikir Chatham House di London, kepada The Guardians.
"Beijing juga ingin dilihat sebagai pendukung utama negara-negara Selatan, yang mencakup sebagian besar negara-negara Arab yang mempertahankan hubungan persahabatan dengan China. Ini soal menjaga hubungan dengan terus mendukung Palestina."
Salah satu efek sampingnya adalah meningkatnya antisemitisme online, yang disebarkan oleh blogger nasionalis. Beberapa orang di media sosial China menyamakan tindakan Israel dengan Nazisme dengan menuduh mereka melakukan genosida terhadap warga Palestina, yang memicu kecaman dari Kedutaan Besar Jerman di Beijing.
Kepentingan Ekonomi
Di balik situasi ini, Beijing disebut akan terus terlibat dalam stabilisasi Timur Tengah. Salah satu alasannya adalah kepentingan ekonomi mereka di kawasan itu, yang akan terancam jika konflik meluas.
China kini sangat bergantung pada impor minyak dari luar negeri, dan para analis memperkirakan setengah dari impor tersebut berasal dari negara-negara Teluk. Negara-negara Timur Tengah semakin menjadi pemain penting dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan China (BRI), yang merupakan landasan kebijakan luar negeri dan ekonomi Beijing.
Alasan lainnya adalah penyelesaian dari konflik ini akan memberikan peluang emas bagi Beijing untuk meningkatkan reputasinya. Bila perang usai karena China, Negeri Tirai Bambu akan dicap sebagai pelamar yang lebih baik bagi dunia dibandingkan AS, yang merupakan rivalnya.
"Sejauh ini, China menahan diri untuk tidak menyerang AS karena dukungannya terhadap Israel. Namun pada saat yang sama, media pemerintah "memulai respons nasionalis" dengan menghubungkan apa yang terjadi di Timur Tengah dengan dukungan AS terhadap Israel," tambah Murphy.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Iran di Balik Serangan Hamas ke Israel? Ini Faktanya
