
Pantas Macet DKI Parah Gila, Ternyata Gini Kondisi Sebenarnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemacetan seolah jadi masalah klasik di kota-kota besar seperti Jakarta. Masalah ini dikhawatirkan makin parah seiring meningkatnya kemampuan masyarakat untuk membeli kendaraan, sedangkan dukungan transportasi umum tidak begitu memadai.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengungkapkan, hal ini terlihat dari dominasi kendaraan pribadi yang jauh melebihi dari kendaraan umum.
"Data yang dihimpun GIZ (Mei, 2023), modal share angkutan umum di Singapura, Hong Kong dan Tokyo sudah di atas 50%. Kuala Lumpur dan Bangkok kisaran 20%- 50%. Sedangkan kota-kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan kurang dari 20 persen. Sementara dalam 5 tahun terakhir tingkat pertumbuhan kendaraan pribadi di Indonesia rata-rata 8% per tahun," kata Djoko, Senin (30/10/23).
"Ranking kemacetan kota-kota di Indonesia, Jakarta menduduki ranking 10. Ranking pertama Bangalore (India, ranking kedua Manila (Filipina), ranking 11 Bangkok (Thailand), ranking 32 Tokyo (Jepang), ranking 46 Kuala Lumpur (Malaysia), ranking 96 Singapura, ranking 108 Hong Kong," lanjutnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, ujarnya, populasi kendaraan bermotor terus meningkat dengan cepat. Pertumbuhan ekonomi, perkembangan kelas menengah dan perubahan gaya hidup telah mendorong banyak orang untuk memiliki kendaraan pribadi.
Di sisi lain, ada keterbatasan lahan dan biaya tinggi serta keterbatasan ruang fisik yang terlalu sempit untuk menampung jumlah kendaraan yang meningkat pesat, telah menyebabkan sering terjadi kemacetan lalu lintas. Belum lagi, kendaraan bermotor merupakan sumber utama polusi udara di perkotaan. Polusi udara yang tinggi menyebabkan masalah pernapasan, iritasi mata, dan penyakit pernapasan kronis. Selain itu, polusi udara juga berkontribusi pada perubahan iklim global dunia.
"Kemacetan lalu lintas itu telah memiliki dampak negatif yang berarti, termasuk waktu perjalanan yang meningkat, tingkat stres pengendara bertambah, pemborosan bahan bakar dan penurunan efisiensi transportasi," kata Djoko.
"Dengan memprioritaskan dan meningkatkan sistem angkutan umum yang efisien, serta menyediakan insentif atau subsidi operasional dan infrastruktur yang diperlukan, maka pemerintah (termasuk Pemda) dan masyarakat dapat bekerja sama untuk mengurangi dampak negatif dari peningkatan jumlah kendaraan bermotor, kemacetan lalu lintas dan polusi dalam lingkungan perkotaan," sebutnya.
Dia mengatakan, keterjaminan ketersediaan angkutan massal ada di pasal 158 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan.
"Angkutan massal yang dimaksud itu harus didukung mobil bus yang berkapasitas angkut massal, memiliki jalur khusus (busway), trayek angkutan umum yang lain tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal dan ada angkutan pengumpan mendekati hunian," pungkas Djoko.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Parung Panjang Lumpuh, Rombongan Truk Tambang 'Blokir' Jalan
