
AS Pakai Standar Ganda soal Hamas Vs Israel, Ratu Arab Murka

Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik bersenjata antara Israel dengan kelompok pejuang Palestina, Hamas, nyatanya turut menyeret Amerika Serikat (AS). Sebagian besar pihak menilai Washington berat sebelah dalam menanggapi konflik itu.
Dalam 20 bulan terakhir, AS terus mengkampanyekan kekejaman yang dilakukan Rusia di Ukraina. Washington mengecam aksi Rusia itu sebagai sesuatu yang ilegal dan kejam, dengan membeberkan Moskow melakukan pembunuhan terhadap warga sipil.
Namun hal yang berbeda dilakukan Negeri Paman Sam di Gaza. Meski telah jatuh ribuan korban jiwa pasca serangan udara Israel, pemerintah AS yang dipimpin Presiden Joe Biden belum mengeluarkan kecaman apapun terhadap Tel Aviv.
Yang terjadi justru sebaliknya. Ia membela Israel yang menurutnya tengah melakukan aksi pembelaan diri dan mengklaim bahwa dirinya merupakan seorang Zionis, atau kelompok yang mempercayai paham bahwa negara Israel harus berdiri di wilayah Bukit Sion, yang merupakan milik Palestina.
Hal ini pun mulai mengundang reaksi. Salah satunya adalah Ratu Yordania, Ratu Rania. Dalam sebuah wawancara dengan CNN International, ia mempertanyakan bagaimana AS dan sebagian Negara Barat menyikapi serangan Israel ke Palestina.
"Dalam beberapa minggu terakhir kita telah melihat standar ganda yang mencolok di dunia ketika tanggal 7 Oktober terjadi, dunia segera dan dengan tegas mendukung Israel, dan mencoba membela diri dan mengutuk serangan yang terjadi, apa yang kita lihat," ujarnya, dikutip Rabu (25/10/2023).
"Tahukah Anda, negara-negara mulai hanya menyatakan keprihatinan atau mengakui adanya korban jiwa, namun selalu dengan kata pengantar pernyataan dukungan terhadap Israel.Apakah kita diberitahu bahwa membunuh satu keluarga dan seluruh keluarga dengan todongan senjata adalah tindakan yang salah, namun tidak masalah jika merudal mereka sampai mati?"
Eskalasi di wilayah Gaza terus meningkat setelah Israel membombardir wilayah itu dengan sporadis. Ini dilakukan Tel Aviv untuk menghancurkan kelompok Hamas, yang menyerang Negeri Yahudi itu pada 7 Oktober lalu dan menewaskan 1.400 warga.
Meski mengaku menargetkan Hamas, serangan Israel nyatanya telah membawa kerusakan besar bagi warga sipil. Sejauh ini, jumlah korban tewas di Gaza telah mencapai sedikitnya 5.700 orang.
Pada Senin, setidaknya 400 orang dilaporkan tewas di seluruh Gaza, setelah serangan udara Israel tanpa henti dalam 24 jam terakhir. Tercatat pengeboman terjadi di 25 titik di enklave Palestina itu.
Selain serangan besar-besaran, Israel juga telah memutus akses bahan logistik, air, dan utilitas ke wilayah Gaza. Kondisi ini pun telah mengancam kehidupan warga wilayah itu, dengan fasilitas kesehatan yang makin kewalahan karena banyaknya korban dan stok obat-obatan serta listrik yang terbatas.
Para pemimpin Arab telah menyuarakan rasa frustrasi mereka terhadap keengganan AS untuk mencoba mengekang blokade Israel. Yordania, Mesir dan Otoritas Palestina menarik diri dari pertemuan puncak yang direncanakan di Yordania dengan Presiden AS Joe Biden pekan lalu.
Sementara itu, kekhawatiran meningkat bahwa konflik tersebut dapat meluas ke negara-negara tetangga di Timur Tengah. Pasalnya, Israel mendesak warga sipil di bagian utara Gaza untuk pindah ke selatan menjelang operasi darat yang diantisipasi.
"Memaksa warga sipil Gaza untuk pindah merupakan kejahatan perang berupa pemindahan paksa," kata Dewan Pengungsi Norwegia.
Perintah Tel Aviv ini pun juga mendapatkan pertentangan keras dari para pemimpin Yordania dan Mesir. Mereka mengatakan bahwa tindakan tersebut dapat menjerumuskan wilayah tersebut ke dalam perang.
"Perpindahan warga Palestina ke Yordania dan Mesir akan menjadi garis merah," dan mengatakan baik Yordania maupun Mesir tidak akan menerima pengungsi dari Gaza," ujar Raja Yordania Abdullah.
"Setiap saran yang diajukan kedua negara untuk menampung warga Gaza yang melarikan diri adalah sebuah rencana yang dilakukan oleh para tersangka untuk mencoba dan menciptakan masalah de facto di lapangan."
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perang Picu Eksodus Warga Palestina, Negara Arab Mulai Waswas
