
IMF Ingatkan Bank Sentral Jangan Buru-buru Turunin Suku Bunga

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Dana Moneter Internasional atau IMF menyarankan bank sentral di negara-negara Asia dan Pasifik untuk tidak buru-buru menurunkan kebijakan suku bunga acuan.
Meskipun tren inflasi di kawasan ini telah mengalami penurunan, IMF menilai akan ada tekanan inflasi dalam waktu dekat, termasuk dipicu berbagai konflik dunia, seperti yang terbaru antara Israel dengan Hamas di Gaza, Palestina.
"Berbicara mengenai konflik, kami menyoroti bahwa guncangan harga komoditas dapat menjadi salah satu risiko negatif mengapa inflasi dapat meningkat," ucap Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, Krishna Srinivasan, saat konferensi pers, dikutip Rabu (18/10/2023).
"Oleh karena itu, penting untuk tetap pada jalur kebijakan moneter dan tidak terburu-buru menurunkan suku bunga sebelum inflasi kembali ke target," tegasnya.
Di sisi lain, IMF memandang, pergerakan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang juga masih terus tertekan akibat penguatan dolar Amerika Serikat yang dipicu kebijakan moneter ketat bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Lagi pula, IMF menilai belum ada alasan bagi bank sentral menurunkan suku bunga acuannya saat ini, terutama karena likuiditas keuangan khususnya di negara-negara berkembang kawasan Asia dan Pasifik masih sangat akomodatif.
"Dengan kondisi keuangan yang akomodatif di pasar-pasar negara berkembang Asia, tidak ada kebutuhan mendesak untuk melonggarkan kebijakan moneter," kata Krishna.
Oleh sebab itu, dengan masih tingginya tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral di berbagai negara, Ia menyarankan supaya pengelola fiskal mulai memperbaiki penyangga fiskalnya dan meredam kebijakan ekspansifnya. Dengan artian, mulai fokus melaksanakan konsolidasi fiskal.
"Dan menurut kami, itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan karena anda ingin membangun penyangga fiskal sehingga utang tidak menjadi masalah di kemudian hari," tutur Krishna.
IMF mencatat, sejak paruh kedua tahun 2020, biaya pengiriman barang atau shipping cost melonjak lebih dari 400 persen dari tingkat sebelum pandemi. Lalu, biaya makanan dan bahan bakar global meningkat tajam, sekitar 17 persen dan 58 persen, masing-masing, dari awal 2021 hingga akhir 2022.
Dampak langsung dari tingginya tekanan inflasi itu adalah melemahnya nilai tukar berbagai negara terhadap mata uang utama dunia seperti dolar, dan meroketnya harga pangan, bahan bakar, dan transportasi yang menurunkan daya beli masyarakat.
Namun, memasuki awal tahun ini pergerakan inflasi menurut catatan IMF telah turun di negara-negara kawasan Asia dan Pasifik ke arah kisaran target bank sental dan pemerintahannya, khususnya inflasi umum, meskipun inflasi inti masih sulit turun.
Kendati begitu, berbagai dinamika eksternal, seperti memanasnya tensi geopolitik dan peperangan, IMF perkirakan dapat kembali memicu tekanan inflasi di berbagai negara, termasuk di kawasan Asia dan Pasifik.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tolak Saran IMF, Bos BI: Kami Lebih Pengalaman!