Ini Harapan Terakhir Warga Palestina Tinggalkan 'Neraka' Gaza

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Hamas dengan Israel di Gaza makin memanas. Ratusan ribu warga Palestina kini telah turun ke selatan Jalur Gaza untuk menyelamatkan diri dari perang yang terus berkecamuk.
Sebuah perbatasan dengan Mesir di selatan disebut-sebut sebagai harapan terakhir bagi warga Gaza untuk melarikan diri dari bom Israel. Banyak warga Palestina mulai bergerak ke arah tersebut sebagai antisipasi.
Namun, penyeberangan di Rafah saat ini masih ditutup. Berikut fakta-fakta terkait penyeberangan yang menjadi harapan terakhir warga untuk menyelamatkan diri, seperti dilaporkan CNN International.
Situasi di Rafah
Perlintasan tersebut saat ini ditutup, sehingga bantuan tidak dapat masuk ke Gaza. Amerika Serikat (AS) telah menekan Mesir untuk membangun koridor kemanusiaan bagi warga sipil di Gaza, serta bagi orang asing.
Namun Mesir mengatakan pihaknya tidak akan membiarkan pengungsi membanjiri wilayahnya dan malah bersikeras agar Israel mengizinkannya mengirimkan bantuan ke warga Gaza.
Pembukaan perbatasan mungkin menjadi persoalan yang rumit mengingat banyaknya pihak yang terlibat. Hal ini memerlukan persetujuan Mesir dan Hamas, yang secara langsung mengendalikan penyeberangan tersebut, serta persetujuan dari Israel, yang telah membom Gaza, termasuk sekitar Rafah. Mesir menuntut jaminan bahwa Israel tidak akan mengebom konvoi bantuan.
Beberapa serangan udara telah dilaporkan di sekitar Penyeberangan Rafah sejak perang dimulai, termasuk satu serangan pada Selasa.
"Ketika kami melihat target Hamas bergerak, kami akan menanganinya," kata juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Letkol Richard Hecht saat ditanya tentang pemboman tersebut.
Lusinan truk berada di sisi penyeberangan Mesir menunggu untuk masuk ke Gaza. Mesir mengatakan belum ada kemajuan dalam upaya pembukaannya dan Israel membantah ada pengaturan untuk pembukaannya.
Perbatasan Penting
Terletak di Sinai utara Mesir, Rafah adalah satu-satunya penyeberangan perbatasan antara Gaza dan Mesir. Letaknya berada di sepanjang pagar sepanjang 8 mil (12,8 kilometer) yang memisahkan Gaza dari gurun Sinai.
Gaza telah berpindah tangan beberapa kali selama 70 tahun terakhir. Wilayah ini berada di bawah kendali Mesir pada perang Arab-Israel tahun 1948, dan direbut oleh Israel pada perang 1967, setelah itu Israel mulai memukimkan orang-orang Yahudi di sana dan secara signifikan membatasi pergerakan penduduk Palestina.
Pada 2005, Israel menarik pasukan dan pemukimnya dari wilayah tersebut, dan dua tahun kemudian jalur tersebut direbut oleh Hamas.
Sejak itu, Mesir dan Israel telah memberlakukan kontrol ketat di perbatasan masing-masing dengan wilayah tersebut, sementara Israel semakin memblokadenya dengan membatasi perjalanan melalui laut atau udara. Israel juga menutup wilayah tersebut dengan pagar perbatasan yang dijaga ketat.
Sebelum perang yang dimulai bulan ini, Israel memiliki dua penyeberangan dengan Gaza: Erez, untuk pergerakan orang, dan Kerem Shalom, untuk barang. Keduanya sangat dibatasi dan ditutup sejak perang dimulai.
Hal ini membuat Penyeberangan Rafah menjadi satu-satunya pintu masuk Mesir ke wilayah tersebut ke dunia luar.
Menurut angka PBB, rata-rata 27.000 orang melintasi perbatasan setiap bulannya pada bulan Juli tahun ini. Perbatasan dibuka selama 138 hari dan ditutup selama 74 hari pada tahun ini hingga bulan itu.
Penutupan seringkali bergantung pada situasi keamanan dan politik di lapangan. Meskipun Israel tidak memiliki kendali langsung atas penyeberangan tersebut, penutupan yang dilakukan Mesir sering kali bertepatan dengan pengetatan pembatasan yang dilakukan Israel di Gaza.
Sejarah Penyeberangan Rafah
Israel dan Mesir menandatangani perjanjian damai pada tahun 1982, yang menyatakan negara Yahudi itu menarik diri dari Semenanjung Sinai yang direbutnya dari Mesir pada tahun 1967.
Israel kemudian membuka Penyeberangan Rafah, yang dikuasainya hingga keluar dari Gaza pada 2005. Antara saat itu dan pengambilalihan Gaza oleh Hamas pada tahun 2007, penyeberangan tersebut dikendalikan oleh Uni Eropa (UE), yang bekerja sama dengan para pejabat Mesir.
Antara 2005 dan 2007, sekitar 450.000 penumpang menggunakan penyeberangan tersebut dengan rata-rata sekitar 1.500 orang per hari.
Setelah pengambilalihan Hamas, Mesir dan Israel secara signifikan memperketat pembatasan pergerakan barang dan orang masuk dan keluar wilayah tersebut.
Namun pada 2008, militan meledakkan benteng di perbatasan dengan Mesir dekat Rafah, menyebabkan sedikitnya 50.000 warga Gaza membanjiri Mesir untuk membeli makanan, bahan bakar dan pasokan lainnya.
Tak lama setelah pelanggaran tersebut, Mesir menutup penghalangnya dengan kawat berduri dan barikade logam.
Penyeberangan Rafah sejak itu dikontrol dengan ketat, dengan akses terbatas dan proses birokrasi dan keamanan yang panjang bagi warga Palestina yang ingin menyeberang ke Mesir.
Alasan Mesir Ogah Buka Perbatasan
Mesir, yang telah menampung jutaan migran, merasa tidak nyaman dengan kemungkinan ratusan ribu pengungsi Palestina menyeberang ke wilayahnya. Lebih dari 2 juta warga Palestina tinggal di Gaza.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi pekan lalu mengatakan negaranya berusaha membantu, meski dalam batas tertentu.
"Tentu saja kami bersimpati. Tapi hati-hati, sambil bersimpati, kita harus selalu menggunakan pikiran kita untuk mencapai perdamaian dan keamanan dengan cara yang tidak memakan banyak biaya," ujarnya.
Banyak juga yang marah dengan gagasan mengubah penduduk Gaza menjadi pengungsi dengan mengusir mereka dari Gaza. Kebanyakan warga Gaza didaftarkan oleh PBB sebagai pengungsi, yang nenek moyangnya berasal dari daerah yang kini menjadi bagian Israel.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Breaking: Perbatasan Rafah Dibuka, Warga Gaza Bisa ke Mesir
