
Waspada Tarif Listrik Bisa Naik, Gegara Ini..

Jakarta, CNBC Indonesia - Reforminer Institute membeberkan ada kemungkinan naiknya tarif listrik di tengah program transisi energi yang dilakukan di Indonesia. Kenaikan listrik bisa terjadi lantaran harga listrik yang dihasilkan dari Energi Baru Terbarukan (EBT) lebih mahal ketimbang dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Tak hanya soal transisi energi, kenaikan tarif listrik juga bisa terjadi dengan adanya perdagangan karbon melalui bursa karbon, yang belum lama diremsikan pemerintah Indonesia. Kenapa itu bisa terjadi, berikut penjelasnnya:
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengungkapkan bahwa saat melakukan transisi energi maka pasti akan ada penyesuaian biaya yang dinilai lebih mahal dari yang sudah ada sebelumnya.
"Artinya kan nanti biayanya akan ada adjustment biasanya akan lebih mahal. Itu sesuatu yang umum atau yang biasa karena kan memang skala bisnisnya baru masuk," terang Komaidi kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (3/10/2023).
Dia menyebutkan dalam jangka pendek-menengah program transisi energi diklaim akan membebani keuangan perusahaan maupun pemerintah.
Dengan beban baru tersebut maka akan dibebankan entah kepada APBN, kepada pelaku usaha, maupun kepada konsumen itu sendiri. "Nah itu kemudian akan digeser ke tadi yang saya sebutkan apakah ke APBN sebagai subsidi, dibebankan ke konsumen atau dibebankan ke pelaku usaha," bebernya.
Idealnya, menurut Komaidi, beban baru tersebut bisa dibagi secara merata pada seluruh sisi baik pemerintah, pelaku usaha, maupun konsumen.
"Tetapi ini kan untuk kepentingan bersama di dalam konteks makroekonomi, nanti lambat laun sebetulnya akan menjadi keseimbangan baru dan semuanya akan menuju hal yang lebih baik dari aspek lingkungan sosial maupun ekonomi," tutupnya.
Perihal potensi naiknya tarif listrik karena bursa karbon, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyebutkan bahwa setiap adanya perubahan peraturan, termasuk adanya perdagangan karbon di Bursa Karbon, bisa berdampak pada keuangan perusahaan listrik di Indonesia.
"Memang ada klausul di mana sebetulnya setiap ada peraturan perubahan, itu sebetulnya ada perlakuan pass-through, jadi dalam hal ini tambahan biaya untuk membeli karbon tersebut, apakah akan dibebankan kepada pemilik PLTU atau apakah akan dibebankan kepada PLN, atau kepada konsumen," ucapnya kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (3/10/2023).
Arthur menegaskan, walaupun Bursa Karbon bertujuan untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia, namun seluruh pihak yang terlibat juga harus tetap mempertimbangkan nilai keekonomian, sehingga tidak turut membebankan masyarakat.
Dia pun khawatir bila Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik meningkat, maka ini bisa berdampak pada kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) di masyarakat.
"Jadi ini memang harus dilihat secara utuh ya, bukan hanya lihat dari sisi lingkungan, tapi juga jangan sampai ini berdampak kepada menaikkan tarif dasar listrik yang memang dibutuhkan untuk tumbuhan ekonomi di Indonesia yang masih sangat dibutuhkan," pungkasnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pemerintah Evaluasi Tarif Listrik September, Naik atau Turun?