Rupiah 'Berdarah' Hadapi Dolar, BI Ungkap Faktor Penyebabnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Garuda, Rupiah, masih berada di bawah bayang-bayang dolar Amerika Serikat (AS). Buktinya, pada perdagangan kemarin Selasa (3/10/2023) rupiah berakhir melemah 0,32% ke posisi Rp 15.575/US$ terhadap dolar AS.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto mengungkapkan kondisi rupiah tersebut sebagai akibat sentimen hawkish the Fed dan higher for longer dari Fed Fund Rate (FFR), disamping kondisi Ekonomi Eropa yang terus kurang mendukung.
"Hampir semua mata uang baik G10 maupun EM termasuk Asia, mengalami pelemahan terhadap dolar AS dalam beberapa hari terakhir," ungkap Edi kepada CNBC Indonesia, Selasa malam (4/10/2023).
Bahkan, kata Edi, perkembangan pasar global juga diwarnai pelemahan pada pasar obligasi pemerintah di hampir semua negara termasuk US Treasury (UST). Imbal hasil atau yield UST 10 tahun meningkat sampai level tertinggi setelah 2007.
Dia menegaskan BI akan terus berada di pasar utk memastikan keseimbangan supply/demand di pasar tetap terjaga.
"Di pasar SBN kami terus cermati perkembangannya, langkah-langkah untuk menjaga stabilitas di pasar SBN apabila diperlukan tetap terbuka. So far pergerakan yield SBN masih manageable," tegasnya.
Imbal hasil SBN tenor 10 tahun telah terbang ke 7,02% yang merupakan level tertingginya sejak November 2022 atau 10 bulan terakhir. Tingginya imbal hasil SBN mengikuti lonjakan pada imbal hasil US Treasury.
Data Kementerian Keuangan juga menunjukkan kepemilikan asing pada SBN jauh berkurang dari 15,39% pada akhir Agustus 2023 menjadi 14,98% per 2 Oktober 2023.
BI memperkirakan kenaikan Fed Fund Rate akan terjadi sekali lagi pada November 2023. Dengan demikian, suku bunga AS akan mencapai 5,50%-5,75%.
Dengan posisi FFR yang bersaing dengan suku bunga dalam negeri, maka bukan tidak mungkin BI akan memainkan 'kartu AS' dengan menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 6%, guna menaikkan daya saing RI.
(haa/haa)